18. Harapan Baru

24 11 3
                                    

     Hujan sore itu mengguyur kota Bandung tanpa henti. Adit masih terus berjalan menebus derasnya hujan. Sepatunya basah, rembesnya masuk ke kaos kaki. Dingin, tetapi ia harus merasa hangat agar tidak jatuh sakit.

     Beberapa kendaaran melaju cepat tanpa sabar. Genangan air, dilewati begitu saja tanpa memikirkan orang di sampingnya. Untung saja Adit sempat menghindar, jika tidak. Kotor semua seragamnya.

     "Adit, sini!" teriak Puspa yang berdiri di halte. "Hujan ih, cepetan!"

     Adit menunduk, lalu segera mempercepat langkahnya menghampiri Puspa. Ia menatap gadis cerewet itu. Wajahnya tidak terlihat galak kali ini. Seperti mood cewek itu sedang normal.

     "Lo kenapa hujan-hujanan?" Puspa duduk, lalu memberikan Adit sebuah payung. "Kemarin gue mau kasih ini, tapi lo malah pergi duluan."

     Adit menerimanya, lalu ikut duduk. "Terimakasih."

     "Oh iya!" Puspa mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Gue barusan beli kado buat Mamah. Lo?"

     Adit diam membisu. Wajah datarnya membuat Puspa mengerti. Ia segera mengalihkan pandangan, menatap bus biru yang berhenti di depannya.

     "Pulang?" tanyanya pada Puspa.

     Puspa menggeleng. "Gue di sini aja, mau nungguin ayang Arya," ucapnya sambil tersenyum senang.

     Adit hanya mengangguk kemudian pergi masuk ke dalam bus kota itu. Payung yang diberikan Puspa ia genggam dengan erat. Kursi tempat biasanya duduk sedang ada yang mengisi. Lantas ia duduk di kursi paling belakang. Setidaknya ini sama seperti kala itu, sunyi dan dapat menenangkan.

     Sebuah kertas kecil yang terjepit di anatara busa kursi membuatnya penasaran. Ia membaca tulisan rapi di dalam kertas itu. Wajahnya langsung berubah drastis. Oh, dia, batinnya.

     Ia memasukan kertas itu ke dalam tasnya. Di bagian luar terasa basah, tetapi tidak tembus sampai ke dalam.

     "Hey, Bung!" ucap pria yang datang dan duduk di sampingnya.

     Topi koboi dengan kemeja putih kotak-kotak itu seakan menyambut nuansa sore yang menyenangkan. Pria itu tersenyum, gigi tengahnya hilang satu. Kumis yang melintang di antara kulit keriput nampak kusut dan sudah beruban.

     "Ngapain naik bus kalau udah basah?" tanyanya.

     Adit hanya diam tanpa suara. Ia tersenyum sebentar kemudian mengalihkan pandangan menatap jalanan ibu kota yang separuhnya penuh kendaraan.

     "Bung!" Pria itu menyenggol Adit dengan pantatnya. "Kau masih muda, tidak usah patah hati hanya karena cinta."

     Adit tidak memedulikan apa yang diucapkan. Ia tetap sama, dingin bahkan tak ingin bicara dengan siapapun.

     "Anak muda zaman sekarang..." Pria tua itu membuka sepatunya. "Masih kecil sudah patah hati."

     Sebuah foto jadul disodorkan. Lusuh, penuh warna kuning seperti tidak dibersihkan. Adit mengambilnya lalu menatap kedua objek yang ada dihadapannya secara bergantian.

     "Itu foto jadul."

     "Hem... Bersama istri?" Adit menyodorkan kembali foto itu.

     Pria tua itu mengangguk lalu menyimpan kembali fotonya ke dalam saku celana. Bus berhenti di halte dekat gapura komplek tua. Pria itu bergegas turun. Ia tertawa sebentar kemudian menyunggingkan senyum penuh keracauan.

     "Lebih baik Anda memakai ini!" ucap Adit sambil memberikan payung dari Puspa.

     "Lalu, kau sendiri bagaimana Bung?"

     "Saya masih muda, masih kuat untuk tidak seperti Anda."

     Pria tua itu mendekat lalu mengambil payung yang diberikan. Ia melakukan tos terlebih dahulu sebelum akhirnya tertawa bahagia.

     "Terimakasih, Bung! Sampai jumpa nanti," ucapnya kemudian turun secara perlahan dari dalam bis.

     Adit menyamankan posisi duduknya. Bis mulai kembali berjalan meninggalkan pria tua yang melambai tangan. Adit membalas lambaian itu sebentar kemudian duduk lagi setelah merasa tidak nyaman karena diperhatikan.

     Earphone itu kembali dipasang. Lagu Ansalana yang tadi belum habis kini diputar ulang. Sejenak, perasaan untuk berpura-pura semakin berkecamuk. Sedih bercampur dengan dusta telah mengelabui seluruh dunianya. Namun, apa yang harus dilakukan jika semua sudah melewati batas rencana?

     Kali ini, lagu Ansalana membawanya turun dari bis dan berhenti di depan sebuah toko kelontong. Ia menatap tempat itu sebentar. Jalanan yang basah oleh air hujan mengingatkan ia sebuah kejadian penolakan.

     "Mau beli apa?" ucap pria dari dalam toko.

     Adit tersenyum gugup lalu bergeser dari pandangan penjaga toko. Ia meresapi kalimat yang terdengar dari earphone. Bukan menyayat, lebih ke membuat perasaan tak karuan. Ingin mengungkapkan takut salah, jika tidak diungkapkan takut tidak diberi kepercayaan. Begitulah kisahnya.

     Sore sudah mulai melarutkan air hujan ke ufuk barat. Adit segera berlari dengan cepat menuju rumahnya. Hujan sore itu juga mulai mereda—hanya gerimis kecil-kecilan saja. Langkahnya menciptakan gelombang air yang baru. Semangat sudah kembali. Pemuda itu gembira, harus cepat pulang sebelum ibunya tau kabar ini.

     "Assalamualaikum," ucapnya sambil melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah.

     "Aden! Sudah pulang," jawab Ibu sambil menyalami tangan Adit. "Bahagia sekali, gimana ujiannya, lancar?"

     Adit menunjukan sebuah amplop yang sempat ia ambil sebelum pulang sekolah. Ibu membacanya, lalu tersenyum penuh haru dan mengecup pelan kening Adit.

     "Ibu, malu," ketus Adit kemudian berlari ke dalam kamar. Melempar tas, kemudian beringsut untuk segera mandi.

***

   Pagi itu Adit sudah bersiap di depan rumah. Ia duduk, mengikat kaki dengan sepatu yang baru lagi. Kemeja putih dengan celana katun membuatnya terlihat sangat tampan—seperti pegawai kantoran.

     "Sudah rapi gini mau ke mana?" tanya Ibu yang baru saja keluar dari dapur.

     "Ngelamar kerja, Bu." Adit menyalami tangan Ibu. "Doakan, semoga saya lulus."

     Ibu tersenyum lalu menyodorkan tangannya dan mengelus kepala Adit. "Hati-hati, Ibu selalu doain kamu."

     Adit tersenyum riang kemudian berjalan dengan cepat. Suara Ibu menghentikan langkahnya. Ia menatap wanita itu sedang berjalan ke arahnya.

     "Ini uang buat kamu."

     "Tidak usah, Buk. Uang kemarin masih ada."

     Adit segera pergi. Sepatu barunya kotor menginjak tanah yang masih basah. Gejolak batin yang tak tertahan untuk segera melaksanakan ujian perusahaan itu menggebu sekali. Seperti menyambut udara pagi untuk kembali berkonsentrasi.

     Kali ini, kendaraan roda empat bercat hijau yang menyambutnya. Ia duduk, saling berdempetan dengan penumpang lain. Sepagi ini, ia sudah disuguhi aroma rokok dan bau ketiak yang menyengat. Sangat sesak, penuh himpitan.

     Di dalam perjalanan yang cukup panjang itu ia membuka halaman pertama tentang ujian psikotes. Sebentar lagi, hampir sampai. Ia masih sibuk memikirkan jawaban dari esai yang didapat. Belum sempat ia menjawabnya, kendaraan itu sudah berhenti di tempat tujuan. Dengan segera Adit turun dan memindahkan beberapa uang recehan ke tangan kernet.

     Sebuah gedung tinggi menjulang dengan beberapa mesin forklift menyambut kedatangannya. Satpam tersenyum, saat membukakan pintu penghalang.

     "Mau psikotes ya?" tanyanya. "Lurus aja, nanti ketemu sama yang lain."

     Adit mengangguk. Ia segera beringsut dan lari secepat kilat sambil memasukan buku lulus psikotes itu ke dalam tas. Beberapa pria muda dan tua menyambutnya senang. Ada juga para gadis berkerudung di sana. Mereka bergerombol membentuk kawanan semut yang terpisah. Adit segera duduk sendiri. Memejamkan mata untuk merelaksasi otak dan menenangkan beban pikiran.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang