28. Memendan Kegagalan

17 8 2
                                    

     Hujan rintik-rintik membasahi kota Bandung. Udaranya sejuk, menusuk kulit sampai terasa ke tulang. Beberapa orang mengenakan jaket tebal seperti roti, sebagian lagi mengenakan jaket berbahan katun. Namun, tidak dengan yang satu itu. Ia duduk di halte menunggu bus biru datang menjemputnya.

     Lagu yang diputar berulang kali berhenti karena ponselnya menerima banyak notifikasi. Tidak seperti biasanya, hari ini ia merasa sangat hambar. Tidak ada rasa kebahagiaan, yang ada malah kecewa terus-menerus.

     Perihal pekerjaan, ia tidak bisa menerima semua dengan lapang dada. Tekanan dari atasan, lebih tepatnya si paling so kelihatan atasan padahal jabatannya hanya Supervisor tapi kelakuannya, melebihi atasan.

     Bus biru itu berhenti di depannya. Pintu terbuka otomatis—mempersilahkan Adit untuk masuk dan duduk di kursi favoritnya. Tatapannya menatap ke arah luar, hanya terbatas oleh jendela. Puluhan orang yang ia temui masing-masing mempunyai kebahagiaan sendiri, tidak terlepas dari seseorang yang menghubunginya saat ini.

     Orang itu mengabarkan kegembiaraan setelah ia lulus sekolah. Tetapi Adit tidak peduli, bukan urusannya lagi untuk kembali mengulang masa-masa indah saat itu. Hatinya sudah terlanjur remuk. Kejujuran yang selama ini ditunjukan ternyata hanya dijadikan sebagai tempat perlindungan dari statusnya sebagai jomlo.

     Gadis biadab, bisa-bisanya memanfaatkan pria lugu demi kepuasan semata. Akhirnya apa? Adit terluka parah karenanya. Ia merasa telah dibohongi, bahkan menganggap semua wanita sama.

     Adit kembali melihat ponselnya. Deretan pesan dikirim dari orang yang pernah ada di masa lalunya. Ia tak peduli, sekalipun dia katakan akan datang menemuinya, ia tidak sudi. Menatap wajahnya saja tidak mau.

     Sekarang ia turun dari bus setelah berhenti di depan pohon cemara. Kedua tangannya di masukan ke dalam saku celana. Sepatunya menginjak-injak genangan air di sore itu, tampak kotor. Ia berbelok, menuju gang kecil dan berhenti menatap kost Sandi yang aura hangatnya masih terasa.

     "Assalamualaikum!"

     Beberapa sahutan dari pria di dalam membawanya masuk dan duduk di dekat Rafi. Acara televisi sore itu hanya menunjukan kartun yang diulang-ulang.

     "Rapih bener...." ucap Sandi kemudian meminum teh hangat yang ia buat. "Kerja di mana lo, Dit?"

     "Di toko," jawabnya singkat sembari mematikan lagu yang diputar.

     "Oh... Gajihnya berapa?" seru Rafi. Tidak hentinya dia memakan kacang sisa kemarin.

     "Saya gak tahu." Ia kemudian membuka ponselnya. Beberapa chat masuk, yang parah ada ratusan pesan dari orang tidak dikenal. "Saya ke kamar mandi dulu."

     "Jangan lama, kalau lama gue tuduh lo lagi ngocok!" celetuk Sandi diikuti cengegesan Rafi.

     Rafi yang penasaran dengan ponsel Adit segera mengambilnya. Ia melihat ada beberapa orang yang mengirimkan pesan dari kemarin tapi belum dibaca ataupun dibalas. Dengan jahil, ia membuka salah-satu kontak dan membaca pesan yang dikirim.

     "Apa katanya?" tanya Sandi ikut penasaran.

     "Kak, gimana kabarnya? Aku punya kabar bahagia loh. Penasaran kan? Aku lulus ujian sekolah, Kak. Senang, aku sekarang udah bebas dari masa SMA. Kalau Kakak gimana? Udah kerja belum? Semangat ya. Aku tunggu balesannya."

     Rafi dan Sandi malah cekikikan jaim. Dengan sengaja, Rafi malah membalas pesan tersebut dengan tanda tanya (?) yang kemudian dihapus lagi untuk diri sendiri sehingga hanya si penerima yang bisa melihatnya.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang