33. Minta Gendong

21 7 2
                                    

     Bus itu berhenti di depan sebuah halte kosong. Adit berdiri dari duduknya lalu mendecih pelan karena Puspa malah sibuk memainkan ponsel.

     "Awas! Saya mau turun."

     "Turun aja, ngapain bilang ke gue," jawabnya ketus. Ia malah menyamankan posisi duduk seperti tiduran.

     "Pus..."

     Puspa melotot, "Jangan panggil gue 'Pus' Gue buka kucing!" Ia mendelik sebal kemudian berdiri dan memberikan jalan untuk Adit.

     "Eh, mau ke mana!" teriaknya—sebenarnya tidak terlalu kencang. Dengan cekatan ia memegang tangan Adit. "Lo mau ninggalin gue?"

     "Iya." Adit melepaskan tangan Puspa tapi cekalannya malah semakin kuat. "Saya mau turun."

     "Buruan! Mau turun atau nggak?" ujar Si Sopir sambil sedikit berteriak kesal.

     Puspa menggeleng, "Gendong!" Wajahnya seketika menjadi aneh, sangat kasihan sekali melihatnya. Seperti orang yang belum makan 1 bulan, mengerikan.

     "Nggak, kamu berat. Banyak dosanya."

     Cekalan itu berubah menjadi cubitan. Puspa menarik tangannya lalu berpangku, merasa kesal sambil memajukan bibir bawahnya. "Jahat!"

     "Woy! Mau turun kagak?" Si Sopir kembali berteriak.

     Adit menghela napas sebentar. Ia berjongkok membelakangi Puspa, membuat gadis cerewet itu tersenyum senang.

     "Asik! Naik odong-odong gratis," katanya sambil menggesekkan kedua telapak tangan dan naik ke punggung Adit.

     Adit berdiri, melangkah perlahan hingga dekat dengan sopir yang menggeleng karena kelakuannya.

     Jduk!

     "Aduh! Adit...!" Puspa memegang kepalanya yang sakit karena terbentur atap bus. "Kepala gue sakit, ih!"

     Si Sopir hanya tertawa kecil. Pedal gas perlahan diinjak setelah kedua penumpang aneh itu turun. Adit diam, berat sekali gadis berdosa itu.

     "Turunin gue!" ketus Puspa. Adit menurut, lalu keduanya bertatapan langsung. Ia menjewer telinga Adit dengan keras. "Lo sengaja mau bikin gue benjol, hah!?"

     Puspa melepas jewerannya lalu menghentakan kaki kesal dan bertolak pinggang. Adit hanya diam tanpa ekspresi. Telinganya yang memerah hanya diusap-usap sebentar.

     "Sayanya ketinggian, maaf."

     Puspa melotot, "Jadi, maksud lo gue pendek?"

     Adit memejamkan matanya untuk menahan rasa kesal. Ia kembali bersabar, mau tidak mau harus menjadi baik untuk Sang Ratu—maksudnya Nenek Sihir.

     "Ayok pulang!"

     "Gak!"

     "Kalau begitu, saya pulang duluan."

     "Gak!"

     "Kenapa?" Adit meletakan telapak tangannya di kening Puspa. "Kamu sakit?"

     "Ih, apaan sih!" Puspa berdecak kesal.

     "Mau saya antar ke dokter?"

     "Gak!"

     "Terus?"

     Keduanya diam. Hanya suara knalpot kendaraan dan riuhnya terpal yang terbawa angin.

     "Gendong lagi!"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang