Gadis itu terjatuh. Kedua kakinya menyentuh aspal dengan kasar. Tangisnya membludak penuh emosi. "Harusnya kita gak pernah ketemu," batinnya.
Rafa yang baru saja turun dari taksi segera berlari terpontang-panting membenarkan tasnya. Ia memegang erat Febi—lalu mendekapnya. Matanya tajam, penuh dendam.
Saat itu, hanya kelabu yang menemani dua sisi insan yang tak sama. Satu mengeluh pada dunia yang kejam satu lagi masih berharap pada orang yang telah disakiti.
"Ayok kita pulang!" ajak Rafa pelan. Febi hanya bisa menangis sambil mengikuti ke mana Rafa akan membawanya.
Di ujung jalan sana, tepatnya hendak menuju kegelapan setelah melewati lentera kuning, Adit menunduk sambil memasang earphone dan memutar sebuah lagu Turki. Suara cempreng Puspa tak dapat ia dengar, kini sibuk menenangkan diri dengan lagu yang penuh arti mendalam.
"Tungguin gue!" teriak Puspa tapi tidak digubris. Adit masih saja berjalan dan tak memedulikannya.
"Seharusnya, saya tidak pernah jatuh cinta," batin Adit. Lelaki itu menengadah, langit begitu cerah malam ini. "Sepertinya, saya memang tidak layak untuk jatuh cinta."
Ia kembali menunduk, terdiam di tempat merenungi apa yang menimpanya.
"Capek!" Puspa berjongkok di belakang Adit. "Lo punya kuping? Gue ngomong dari tadi gak didengar."
Adit berdeham lalu melepas sebelah earphonenya. "Ngomong apa tadi?"
"Lo budek!" Puspa membuang mukanya ke sembarang arah. "Siapa sih cewek itu?"
Adit bergeming. Bibirnya bergetar, mengerutkan ancaman batin yang berkecamuk untuk mengatakan hal jujur.
"Ditanya malah diam," ucap Puspa lalu berdiri menatap Adit. "Lo.... Ih masa cowok nangis?"
Adit langsung gelagapan. Ia berbalik untuk tidak menatap Puspa. Segera ponsel itu ia keluarkan, sedikit berkaca pada kaca hitam yang mengkilat. Ternyata Puspa berbohong, tidak ada air mata yang mengalir. Hanya sedikit berkaca-kaca.
"Cie.... Panik?" Puspa mencolek Adit. "Gendong gue dong!"
Adit brrdecih. Ia menggeram sedikit, napasnya dibuang kasar. "Iya," katanya sangat tidak ikhlas.
"Asik naik ayam kalkun!"
"Sembarangan, ayo naik!" Adit berjongkok, Puspa naik dan ia bangkit untuk memulai perjalan baru dengan beban di punggungnya.
Tentang hati yang sudah lama tersakiti memang tidak bisa diubah ceritanya. Sudah dipatahkan kenapa harus datang untuk niatan merangkai kembali. Sayangnya, itu adalah kesalahan Febi. Datang secara tiba-tiba menggebrak rasa yang hampir dilupakan. Kini, ia malah menjadi ingat semua. Bagaimana perih, dan tidak terima saat ditinggalkan dan dihina.
"Dit!" panggil Puspa.
"Hm..."
"Cewek tadi siapa sih? Kok gitu amat."
Adit berhenti sejenak untuk menghela napas panjang kemudian berjalan lagi. "Penggemar saya."
Puspa tersebu meledek. "Cowok kayak es gini punya penggemar?" Puspa menjewer telinga Adit. "Ada-ada aja..."
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah tentang rasa yang dulu sempat dilupakan. Jika kenyataannya ada untuk kembali dirangkai, kenapa dia malah datang untuk menghacurkan?
"Kok dia nangis?" tanya Puspa sekali lagi.
Kali ini pertanyaan itu berhasil membungkam Adit. Lelaki itu hanya menunduk sedih sambil mendengarkan lirik lagu yang dicampur ocehan Puspa. Sangat tidak enak didengar, apalagi dijawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...