25. Harapan Baru

21 8 2
                                    

     "Allhamdulilah lulus," ucap Febi sambil tersenyum penuh haru.

     "Iya," Eva mengulum senyumnya lalu menunduk. "Kita gak akan bisa ketemu lagi."

     "Kenapa ngomong gitu sih? Kayak mau mati aja." balas Putri sambil sibuk memotong kuku.

     "Kita masih bisa ketemu, reuni aja kalau mau," ujar Nesya.

     Eva menggeleng, "Aku gak akan bisa ketemu kalian lagi." Ia berdiri, merapikan baju yang telah dimasukan ke dalam koper.

     Febi menyimpan ponselnya di atas kasur lalu mendekati Eva. "Tenang, masih bisa vidio call, kok."

     "Mustahil," ucapnya sambil menghembuskan napas kesal.

     "Di Padang ngapain sih sampai vidio call aja gak bisa?" celetuk Putri. Sekarang dia sedang menggunting kuku kakinya.

     Eva memutar bola matanya malas. Kaki kanannya sedikit dihentakan kemudian bersandar pada tembok kamar sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Pesantren."

     "Apa?" Putri melempar gunting kuku ke lantai dan berjinjit mendekati Eva. "Cie.... Jadi ukhti-ukhti naughty," godanya.

     "Sialan lo." Eva menutup telinga dengan kedua tangannya sambil menutup mata—malas mendengar dan melihat wajah ketiga temannya yang menertawakan. "Berisik!"

     "Udah, jangan digituin. Kasian." Febi meraih ponselnya. "Jadi ukhti yang baik, jangan nakal."

     "Seandainya aku ada di posisi kamu, aku pasti bersyukur." Nesya mendekat, ia melihat Eva—saling tukar pandangan. "Pasti kamu gak akan kesepian di sana. Banyak cogan yang berilmu."

     "Jangan di dengerin!" Putri melotot sambil menggoyangkan tangannya di udara. "Awas! Guru di pesantren sekarang banyak yang gak normal."

     "Putri!" Febi berdiri, lalu menatap Putri dengan marah. "Gak boleh gitu, gak semua pesantren kayak gitu."

     Putri kembali duduk sambil memotong kuku kakinya. "Banyak kok beritanya. Guru tukang sodomi murid ada, tukang gombalin murid ada, sampai tukang hamilin murid juga ada. Katanya beragama, tapi gak bisa kasih contoh yang baik. Sampah."

     "Putri! Jangan nakut-nakutin Eva. Sebagai sahabat, kamu harusnya kasih support, bukannya malah nakut-nakutin," ketus Febi.

     Nesya ikut bicara, "Iya, meskipun aku gak tau pesantren itu kayak apa. Yang pasti, gak semuanya kayak gitu. Tergantung iman kita nya juga, kalau lemah ya hamil, kalau kuat ya jadi pahlawan."

     Putri diam sambil menye-menye mendengus kesal. Sedangkan Eva hanya bingung mendengr perdebatan yang tidak ada jalan keluarnya itu.

     "Aku tahu, orangtua kamu sudah mikir matang-matang buat kirim kamu ke sana. Sekarang, tinggal kamunya. Mau apa nggak?" Febi kembali melihat ponselnya—entah menunggu apa.

     "Aku...." Eva menghentikan bicaranya.

     Langsung disambung Putri, "Mendingan diem di rumah. Tunggu cowok datang ngelamar, nikah langsung deh punya anak."

     "Putri! Mau aku kasih cabe itu mulut?" sarkas Febi.

     "Jangan Feb, nanti tambah bawel kalau dikasih cabe," ujar Nesya sambil tersenyum.

     Putri tertawa geli, "Nesya aja tahu, masa kamu nggak Feb?"

     "Udah, diem!" Eva duduk dengan kasar di atas kasur kapuk yang sudah lama tidak diganti. "Kalian ribut terus, aku malah pusing sama kalian."

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang