Wirman berdehem. Microphone ia pegang kuat-kuat sampai terlihat gemetar. Suaranya menggema. Membuat semua orang diam, menunggu apa yang ia ucapkan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Neta Putri Siborera dengan mas kawin seperangkat alat solat, sebuah rumah di Komplek Duren Tiga, Kedai Teh di Ciwidey, Sebuah Hotel Grand Mamamia dan Mobil Honda HRV dibayar tunai!" Microphone langsung dijauhkan, napasnya masih tersengal-sengal.
"Bagaimana para saksi?" tanya penghulu sambil mengukir senyum lega.
"Sah!"
"InsyaAllah sah!"
"Yang gak bilang sah, fix! Dia jomlo abadi."
Semua mengusap wajah sambil tertawa kecil. Wirman cengngesan dan enggan menatap Neta. Ibu-ibu yang berselendang sibuk mencolek-colek Wirman.
"Allhamdulilah, udah sah..." ucapnya malu-malu.
Neta tersenyum, ia menarik tangan Wirman dan menciumnya. "Sekarang, kamu jadi imam aku. Mas, Iman..."
Wirman gelapan dibuatnya. Tangannya yang gemetar saat itu bersentuhan dengan Neta. Jantungnya berdegup kencang, ia salah tingkah.
"Cium aku mas, cium!" bisik Neta pelan.
Wirman menyenggol Neta. "Nanti aja di kamar, belum waktunya."
"Maksudnya cium kening aku!"
Wirman cekikikan. Ia segera melakukan apa yang diinginkan Neta. Lalu keduanya beringsut dan duduk di kursi pelaminan. Beberapa orang sibuk mengambil hidangan. Aroma masakan yang begitu khas membuat hidung tersumbat. Lapar, ingin mencicipi tapi antriannya penuh.
"Mau makan, tapi males ngantri." Puspa memasang wajah memelasnya. Ia menyikut Adit sambil mengusap-usap perut. "Lapar..."
"Ambil aja sendiri."
"Males ngantri, ambilin dong!"
Adit berdeham. "Nanti ya?"
Puspa menggerlingkan bola matanya. "Kalau gue pingsan karena kelaparan lo mau tanggung jawab?"
Adit membuang napasnya kasar. "Iya, tunggu!"
Lelaki itu pergi membuat Puspa menarik sudut bibirnya dan tersenyum. Antrian yang panjang membuat suasana menjadi panas. Gadis cerewet itu hanya diam di kursi besi sambil mendengarkan musik dangdut koplo. Adit mendengus kesal. Namun, harus tetap sabar jika berhadapan dengan si Nenek Sihir.
"Yang banyak!" teriak Puspa yang langsung dibalas dengan gelengan kepala.
Puspa langsung kecut, merajuk. Ia kembali tersenyum setelah Adit menunjukkan dua jempol tanda setuju. Bahagia atau tidak, itu sama saja. Adit masih menjadi pembantu, pria itu jarang marah tapi hanya dingin.
"Silahkan!" Adit menyerahkan sepiring hidangan yang menggoda.
"Waw, makasih ya." Puspa mengambilnya lalu menatap Adit. "Buat lo mana?"
Adit duduk dengan tenang lalu meminum air kemasan. "Saya gak lapar."
Puspa menggeleng. "Lo harus makan, gue gak mau odong-odong gue sakit."
"Kamu makan aja."
Puspa diam tanpa suara. Rasa laparnya hilang melihat Adit seperti itu."
"Nafsu makan gue hilang."
"Kamu makan aja."
"Nggak mau, gue mau makan kalau lo juga ikut makan."
Adit pasrah. Ia menarik piring yang dipegang Puspa. "Iya, saya makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Novela JuvenilBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...