46. Luka Sepihak

13 2 0
                                    

   Karena ucapannya hari itu, ia segera dikeluarkan. Adit tersenyum senang, setidaknya ia dapat bebas dari kutukan si Supervisor dengan mulut lima. Sangat sulit nyatanya membiarkan kejujuran tegak di sana.

   Dalam perjalanan pulang, ia tersenyum senang. Earphone yang dikalungkan tidak sama sekali memutat lagu Turki. Hanya menjadi hiasan dan bahan sandaran ketika di bus.

   Lagi-lagi ia ingat Febi, perempuan yang selalu dekat dengannya ketika di bus ini. Sampai dua perempatan yang dilewati masih saja perasaan gundah itu diingat. Bukankah dulu pernah disakiti, kenapa sekarang malah ingat lagi? Begitulah cinta. Datang salah, pergi juga salah.

   Ia berjalan pelan saat bus berhenti di sebuah halte. Selembar uang lima ribu rupiah diberikan pada sopir dan turun begitu saja.

   Earphone yang tadi hanya menjadi pajangan kini didengarkan. Suaranya berhasil menutupi pendengaran. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, membiarkan otaknya terefresh dengan alunan melodi.

   Sebuah gang kecil membuatnya seger berjalan cepat. Wanita tua itu sedang duduk di depan teras. Ia tersenyum ketika melihat Adit pulang dengan wajah yang cerah.

   "Assalamu'alaikum," ucapnya sambil menyalami tangan Ibu dan duduk di sampingnya.

   "Waalaikumsalam, tumben pulangnya cepat?"

   Adit menggulum senyumnya. "Saya... Keluar." Ia memegang berat tangan Ibu. "Ibun tidak marah?"

   Ibu hanya mengangguk meskipun tidak menyangka ternyata Adit bisa melakukan tindakan sebrutal itu. Panganngannya terarah ke baju yang dijahit manual. Mulai tidak peduli dan merasa kecewa atas keputusan anaknya.

   "Maaf, tapi ini saya lakukan untuk Ibu," tuturnya masih saja membuat Ibu merasa kecewa. Adit memegang tangan Ibu dan menatap wajahnya yang sedikit keriputan. "Bu, saya janji akan menemukan pekerjaan yang lebih baik." Ia meraih amplop coklat dari dalam tas. "Ini, buat Ibu semuanya."

   Wanita itu menatap Adit. Ia menolak dengan halus, menggeleng lalu kembali menjahit. "Kamu ambil saja."

   "Bu..."

   "Buat ngelamar kerja nanti."

   Adit diam tanpa suara. Pegangannya melemah. Apa bisa buat, ibunya sudah kecewa dengan keputusan sepihak.

   "Kamu makan dulu, Ibu udah masak."

   Kalimat itu mendorong Adit untuk pergi. Perlahan ia mengangkat tubuhnya dan beranjak masuk ke dalam kamar. Adit yang melihat itu hanya merutuki dirinya sendiri. Seandainya jika ia membicarakan ini sebelumnya, mungkin akan ada solusi dan tidak seperti ini.

   Adit menarin napas dalam untuk kemudian dihembuskan secara kasar. Ia menarik tasnya lalu pergi ke dalam kamar. Beberapa foto yang ditempel seperti poster itu ia tatap. Rindu rasanya tidak bertemu sahabat lamanya, apalagi Wirman sudah menikah. Pasti sangat seru mendengar cerita mereka.

   Dengan cepat, ia meraih handuk. Masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Hanya satu harapan untuk proses keberhasilan selanjutnya. Menerima kegagalan untuk sukses atau diam di zona nyaman untuk menyiksa diri.

   "Adit!" Suara cempreng dan melengking itu tidak lain milik Puspa.

   Gadis itu masuk tanpa permisi. Berteriak mencari Adit, tetapi nihil. Hanya aroma farfum cowok itu yang ia hirup.

   "Ke mana sih?" ketusnya lalu duduk di atas sofa dan mengunyah kelontong. "Awas aja kalau gak ada."

   "Puspa?" ucap Ibu yang membuat Puspa langsung berdiri dan menyalami tangannya dengan senyum kikuk. "Tumben ke sini?"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang