30. Terluka

29 9 2
                                    

     Febi sedang mematut dirinya di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri, membuat refleksi rangkuman masa lalu untuk dibuang dan dikenang. Wajahnya sudah terlihat semakin dewasa ditandai adanya beberapa jerawat kecil di kening.

     Ia meraih ponsel yang diletakan di atas kasur. Dengan sabar, ia menunggu pesannya dibalas, tetapi masih belum ada.

     "Sial!" gumamnya pelan.

     Ia menepuk kening lantas menyalakan data ponselnya. Beberapa notifikasi masuk disaksikan mata beningnya. Senyum di wajahnya terukir saat orang yang sebelumnya ia hubungi kini membalas.

     Ia melompat, tertawa kecil kemudian menghempaskan diri ke atas kasur. Pesan itu dibuka dengan wajah ceria. Namun, seketika berubah.

     Pandangannya berbuah, ekspresi cerianya hilang setelah membaca pesan itu. Air mata, menetes tanpa diperintah.

     Bantal yang sudah diganti sarungnya ia dekap, peluk lalu menjadi tempat tumpahnya air mata kekecewaan. Febi menangis, menahan perih hanya dengan suara sesengukan.

     "Kenapa, kenapa harus kayak gini, Kak!?" katanya sambil meremas bantal.

     Hanya sekalimat dari Adit sudah bisa menggoreskan luka di hatinya. Ia kecewa, tidak pernah menyangka ternyata Adit seperti itu.

     "Kalau tahu kayak gini, aku gak akan pernah berharap sama kamu!" suaranya sedikit melengking.

Drrt...!

     Ponselnya kembali bergetar. Sekarang panggilan dari Nesya, tetapi Febi tidak menghiraukannya. Ia tak sudi berbicara dengan orang lain saat ini. Bahkan, sekedar basa-basi saja ia tidak bisa. Sudah terlanjur sakit.

     "Feb! Kamu nangis?"

     Suara kakaknya berhasil membuat air mata itu kering. Hanya mata saja yang berkaca-kaca seperti sudah cuci muka. Febi buru-buru menghapus air mata di pipinya. Ia menyamarkan dirinya dari rasa kecewa.

     "Nggak, Kak!" jawabnya sambil sedikit sesenggukan.

     Febi dan kakaknya saling menatap satu sama lain. Senyum yang ditunjukan membuat kakaknya sedikit tidak yakin. Matanya berkaca-kaca, dia tidak bisa berbohong dengan keadaan seperti itu.

     "Kamu nangis?"

     Febi mengulang senyumnya agar lebih lebar. "Nggak Kak, Febi tadi... Kelilipan jadi cuci muka dulu."

     Kakak perempuan itu mengangguk. "Nanti anterin bahan serabi ke Ibu ya!"

     Febi mengangguk seiring dengan perginya Sang Kakak. Ia kembali duduk di kasurnya. Menatap layar ponsel yang masih belum keluar dari room chat utama. Masih tidak percaya jika pesannya akan dibalas seperti itu.

      Pukul satu siang, sudah waktunya untuk melaksanakan kegiatan rutin. Ia bergegas mengganti pakaian dan mengambil beberapa toples kecil bahan untuk serabi.

     "Febi berangkat dulu!" ucapnya sambil menenteng keresek yang berat.

     Hanya dua pilihan, pergi atau kembali. Seperti itu yang selalu menghantui pikirannya. Jiwanya seakan hampa, tidak beraga seperti orang mati. Semua yang diharapkan dan diimpikan malah tidak terjadi.

     Jalanan yang tandus dan penuh debu itu berhasil menggiringnya ke sebuah warung kecil di bawah jembatan penyeberangan orang. Ia tersenyum, kemudian melambai pada ibunya.

     "Udah dibawa semua?" tanya wanita itu sambil mengorek-ngorek isi kresek.

     "Udah," jawab Febi lalu duduk di kursi panjang.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang