Febi tersenyum kikuk. Tangan Rafa dilepaskan, membuatnya kembali duduk penuh rasa gelisah.
"Mau ke mana? Buru-buru banget," tanya Rangga sekali lagi.
Cangkir kecil berisi kopi panas itu ia minum perlahan. Kedua matanya mendelik lalu tersenyum simpul sambil memegang tangan Febi.
"Jangan gugup, aku manusia juga kok," katanya.
Febi menggeser tangan Rafa halus. "Bu-bukan, aku cuma khawatir aja."
"Khawatir kenapa?" Rangga menaikan sebelah alisnya dan duduk dengan rasa penasaran. "Cerita dong!"
Febi menarik napas dalam dan menghembuskannya kasar. "Kaget, aku tiba-tiba di bawa ke sini."
Rafa tertawa kecil, lalu memegang tangan Febi. Namun, gadis itu langsung mengusirnya secara perlahan. "Maaf," katanya sambil menarik kembali tangannya. "Itu aku yang nyuruh, biar bisa ngobrol sama kamu."
"Iya," balasnya kecut.
Celemek yang mengikat pingangnya ia lepas paksa, beberapa kali wajahnya mengernyit menahan rasa kesal dan sakit dari lilitan yang kuat.
"Aku bantuin ya."
Rafa mendekat, menggeser kopinya dan melepas celemek yang nampak kotor. Ia kembali duduk, lalu tersenyum menatap wajah Febi.
"Kamu sibuk gak hari ini?"
Febi diam sejenak, ekspresi di wajahnya seketika berubah. "Nggak, kenapa?"
"Temenin aku ya!"
Febi menggeleng. "Lain kali aja ya?"
"Feb, sekali aja."
Gadis itu menatap penuh perhatian. Ada beberapa hal membuatnya enggan untuk berjalan besama Rafa. Tetapi, ada juga keinginan untuk terus dekat.
"Kamu serius?"
Rafa mengangguk lalu meminum kopinya. "Jarang-jarang kita jalan berdua, kan?"
Febi mengangguk. Ia berdiri, lalu menatap ke sekitar dan kembali lagi ke Rafa. "Sekarang?"
"Iya, Feb." Rafa meminum kopinya hingga habis kemudian berdiri dan menyodorkan tangannya. "Yuk!"
"Pulang dulu."
"Kenapa lagi?"
"Mau ganti baju."
"Gak usah, kamu udah cantik." Rafa menyodorkan tangannya lebih dekat sehingga Febi bisa menyentuhnya. "Yuk!"
Febi menggenggam erat tangan Rafa yang cukup besar. Lelaki itu tertawa bahagia lalu berpamitan kepada sahabat dan barista di sana.
"Emangnya kita mau ke mana?" tanya Febi sambil melangkah.
"Ke mana aja, asal kamu bisa bahagia."
Langkah Rafa membawa Febi mendekati sebuah motor klasik dengan warna yang monoton. Helm cadangan yang ia simpan diberikan ke Febi.
"Pake ya, biar selamat sampai tujuan."
Febi menerimanya dengan ragu. Ia memakai itu lalu saling bertukar tatap dengan Rafa.
"Ngapain? Ayo naik!" kata Rafa sambil cengengesan dan hendak mencubit pipi Febi tapi tidak jadi. "Buruan naik, keburu malem."
Febi mengangguk dan duduk dengan santai di jok belakang. Mesinnya mulai dinyalakan. Asap putih dari pembakaran bensin menggiring perjalanan mereka. Pelan-pelan, hatinya berdebar. Jantungnya berdetak tidak karuan. Itu membuat tangannya mendekat, semakin rapat hingga memegang dan meremas kemeja yang dikenakan Rafa. Lelaki itu malah tersenyum kikuk. Salah tingkah, baper karena baru pertama kali bisa sedekat ini dengan Febi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Genç KurguBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...