40. Pada Akhirnya Sama Saja

20 4 0
                                    

   Langkah kakinya gontai di rangkakan malam hari. Wajahnya terangkat penuh elegensi untuk kisah yang mungkin naas bagi sebagian orang. Ia tersenyum, tetapi langsung murung dan menunduk. Darah yang mengalir dari telinga itu sudah ia tahan. Namun, tetap saja basah oleh merahnya darah.

   "Adit!" ucap Puspa yang berlari sambil membawa payung. "Lo ke mana sih?"

   Matanya bertaut pandang, saling menatap dan merasakan satu sama lain. Adit menggeleng sembari menahan kupingnya yang perih. Ia menggeleng kemudian berjalan sedikit lebih cepat.

   "Lo kenapa sih?" tanya Puspa sedikit geregetan dan menarik-narik tangan Adit yang memegang telinga.

   "Saya baik-baik saja."

   "Lo gak usah bohong sama gue..."

   Adit diam, pandangannya masih saja kosong. Puspa yang meminta untuk diperhatikan malah diabaikan. "Saya tidak butuh kamu."

   Ia kemudian berjalan meninggalkan Puspa di sana. Gadis itu terdiam tanpa suara. Beberapa kali menekan-nekan payung dan meremas tangan, takut salah dengar.

   "Tunggu!" katanya kemudian berlari menyusul Adit.

   Kedua kakinya melangkah senada. Adit masih menahan darah di telinga agar tidak masuk ke dalam. Sedangkan Puspa hanya dapat terdiam sambil sesekali melihat wajah Adit yang menyedihkan.

   "Kamu kenapa masih di sini?" lirih Adit di sela-sela langkahnya.

   "Gue mau kasih sepatu lo."

   Adit berdeham. "Sepatu atau payung?"

   Puspa diam sejenak kemudian tertawa dan memukul Adit. "Ya ampun gue lupa, sepatu lo masuk kloset."

   Adit hanya mengangguk pelan. Ia masih berjalan, tidak mau mempermasalahkan itu.

   "Lo kok gak marah sih?" Puspa menggeram. "Marahin gue dong!"

   Adit mengecap bibirnya ragu. Ia menggeleng tidak menyangka Puspa memang random. Sudah cukup diberikan luka jangan sampai pikirannya terbebankan oleh cewek rese itu.

   "Lo ngapain..." ujarnya sambil menarik tangan Adit yang memegang telinga. "Lo lagi latihan adzan ya? Tutup kuping mulu."

   "Bukan urusan kamu."

   "Urusan gue lah!" Puspa berdecak pinggang. Tubuhnya yang sedikit besar menghalangi jalan lelaki itu. Tangannya menujuk ke depan—tepat ke wajah Adit. "Lepas tangan lo, gue gak suka."

   "Minggir!" ucap Adit sambil berusaha menerjang rintangan yang Puspa buat tapi tidak bisa. "Sudah malam, kamu pulang saja."

   "Lo sembunyiin apa dari gue?"

   "Bukan urusan kamu."

   Puspa mendecih, lalu melotot. "Gue banting juga lama-lama."

   "Saya tidak ada waktu untuk main banting-bantingan sama kamu."

   "Heh! Jawab dulu..."

   Adit mendesah kesal. Terpaksa ia menunjukan luka di telinganya.

   "Ya ampun... Telinga lo kenapa ih!" Puspa mengecek, menjewer dan menekan-nekan telinga Adit hingga laki-laki itu meringis. "Penyakit budek lo udah pecah?"

   "Saya ditonjok orang."

   Puspa langsung histeris, ia memegang Adit, mengkhawatirkannya. "Gue obatin ya?" ujarnya sambil menuntun Adit pulang menuju rumah.

   "Tidak usah, nanti kering sendiri."

   Puspa menunjuk Adit. "Gak usah ngeyel, nurut aja sama gue!"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang