"Iya," jawab Adit sambil menyalami tangan pria itu.
Pria itu menunjuk kursi kosong dengan telapak tangannya—mempersilahkan duduk. Ia menatap kosong ke depan. Bibirnya komat-kamit seperti ragu untuk memulai obrolan.
"Gimana hubungan kamu?" tanyanya santai. Kedua tangannya disimpan di atas pegangan kursi. "Saya harap, kamu bisa menjaganya..." Pria itu menghentikan bicaranya.
Adit mengangguk lalu menunduk untuk menyembunyikan kegelisahannya. Bibirnya beberapa kali ditekuk ke dalam, matanya terus saja mengernyit tidak mengerti. "Saya pasti menjaganya."
Saat itu Puspa datang membawa secangkir kopi hitam. Ia tersenyum pada pria itu lalu meledek kepada Adit. Lantas tersenyum menyeringgai dan pergi.
"Gadis zaman sekarang," ucap pria itu lalu meminum kopi panasnya.
Adit tersenyum kikuk. "Gajah ngamuk."
Puspa langsung datang dengan melotot. "Apa lo bilang?"
Adit terkekeh sedangkan pria itu hanya mengangkat tangan di depan bibir lalu tersenyum kecil. "Ssst!" desisnya. "Mandi, kamu bau!"
Puspa mendelik sebal. Acara mengupingnya telah digagalkan begitu saja. Dengan malas, ia segera beringsut dari sana. Melangkah dan menghentak dalam setiap lantainya.
"Jadi..." Pria itu menyimpan kopinya. Menggeser lebih dekat dengan vas bunga. "Udah punya pacar?"
Mendengar itu Adit langsung terkejut. Duduk yang tadinya santai, sedikit menunduk. Kini tegak dan tidak menyandar sedikitpun.
"Saya gak punya pacar Om, ngapain juga," jawabnya ketus. Lalu kembali duduk santai dan sedikit menunduk.
"Kapan kamu pacarannya? Keburu saya death gimana?"
Adit berdehem, tersenyum kikuk lalu menatap pria itu. "Saya masih ragu untuk menjalaninya. Tapi, saya pasti akan melakukan yang terbaik."
"Ohh..." sambil membuka mulut lebar. Ia meminum kopinya lagi lalu menuangkannya ke dalam piring kecil. "Kalau diginiin bakalan cepet dingin."
"Rasanya?" tanya Adit dengan ekspresi sedikit geli.
"Sama aja." Pria itu meminumnya lalu kembali menyimpan kopi di dekat vas bunga. "Kayak perasaan yang ditahan, gak mau diucapkan sampai akhirnya tumpah di tempat yang gak seharusnya."
Keduanya saling diam. Adit memikirkan apa yang pria itu ucapkan sedangkan pria di sebelahnya hanya terseyum.
"Mau kayak gitu?"
Adit menggeleng.
"Nyatakan secepatnya!"
Adit menganggukkan kepalanya pelan. Ia paham dengan apa yang pria itu ucapkan. Hatinya masih sama, terganggu kisah masa lalu. Itu membuat kisah, perasaan dan cintanya hancur. Patah hati memang candu yang terus memburu. Tak tahu tempat dan waktu, ia akan datang tanpa permisi dan terus menyakiti.
Ia beranjak dari duduknya. Berdiri, sedikit membungkuk dan menyalami tanga pria itu. "Saya, pulang dulu," katanya pelan yang dijawab dengan anggukan kepala.
Mata cokelat penuh sejarah itu menatap Adit yang menghilang di balik pagar besi. Ia tersenyum, lalu tertawa. Melihat Adit, seperti mengingatkan ia pada masa mudanya. Dahulu yang selalu cupu dalam soal asmara, kini menjadi raja penuh eunonia.
Adit memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Tidak ada earphone tidak ada lagu Turki atau Azerbaijan. Semua biasa saja, hanya keringat yang saat ini belum mengering masih dapat di rasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...