4. Konyol Sekali

116 23 7
                                    

     Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Earphone masih terpasang dengan baik, volumenya tidak terlalu keras. Selalu menyesuaikan dengan lagu Turki yang diputar.

     Tid!

     Hampir saja mobil itu menyerempetnya. Adit menggeleng pelan, lantas melanjutkan kembali perjalanannya.

     Tentang patah hati, mungkin semua orang sudah pernah merasakannya. Tetapi untuk Adit, patah hati merupakan hal buruk yang selalu datang saat dia sedang tenang. Seperti sekarang ini. Ponselnya bergetar, memijat pahanya.

     Ia tidak ingin mengangkatnya, hanya menikmati nada dering ponsel yang terdengar dari earphone. Bukan saat ini saja telepon itu bergetar, berulang kali hingga ia sampai di depan sebuah kost-an.

     "Eh, Bro!" ucap Sandi. Sahabat Adit sejak kelas 1 SMP yang masih setia hingga sekarang. Ia menyimpan gitar yang dimainkannya dan berdiri menghadap Adit. "Lo jangan masuk dulu! Ada polisi."

     Adit diam sejenak, memastikan bahwa Sandi tidak menyembunyikan apa-apa. "Ngapain polisi ke sini?"

     "Biasa, si Wirman. Kena tangkep gara-gara macarin anak polisi tapi gak pernah dikasih jajan."

     "Oh." Adit melepas sepatunya dan duduk di kursi panjang.

     "Lo dari mana? Basah-basahan kayak gini. Kalau lo gak mau ke sini gak usah maksain," ucap Sandi sembari duduk di samping Adit dan kembali memainkan gitar. "Lo tau gak, tadi siang si Tuti datang cuma buat nampar si Rafi."

     "Oh."

     "Lo gak mau tau kenapa si Tuti nampar si Rafi?"

     "Nggak, itu urusan mereka."

     Orang yang dibicarakan datang, membawa sebungkus nasi kuning. "Lo ngomongin gue ya?"

     "Iya," jawab Sandi. Ia masih asyik memainkan senar gitar.

     "Dit, udah makan belum?" tanya Rafi, sembari menunjukkan bungkusan nasi yang dipegangnya.

     "Belum, tapi saya gak lapar."

     "Makan, nih!" Rafi menyodorkan sebungkus nasi itu tapi Adit menolaknya dengan keras.

     "Gak perlu."

     Rafi menarik kembali tangannya, "Ya udah. Kalau lo mau makan, masuk aja ke dalam." Ia pergi, meninggalkan Adit dan Sandi.

     Adit memainkan ponselnya, menye-croll beberapa pesan yang dikirimkan wanita masa lalunya.

     "Pacar?" tanya Sandi ketika tidak sengaja melihat pesan yang masuk.

     Adit mematikan ponselnya dan menyimpannya ke dalam saku celana, "Bukan."

     "Kenapa banyak emoticon?"

     "Terserah dia mau pake emot atau gak, itu bukan urusan saya."

     Sandi mengangguk, ia kembali memainkan gitarnya.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang