21. Ditipu Cinta Sesaat

17 9 2
                                    

     "Lo aneh, dikawinin malah gak mau." Sandi duduk di samping Adit lalu mengambil setoples kacang dan memakannya. "Masa depan lo udah terjamin, ngapain takut?"

     Wirman gelapan. Ia diam sambil menatap kosong ke depan lalu duduk. "Gue takut," ucapnya gemetar.

     Rafi mematikan ponselnya. Ia menepuk pundak Wirman sambil tersenyum. "Tenang, kalau lo gak kuat nanti gue yang gantiin."

     "Sialan," katanya sambil menyingkirkan tangan Rafi. "Gak sudi gue berbagi istri sama lo."

     Semua tertawa termasuk Adit yang tersenyum mesem-mesem. Sandi kembali memasukan kacang ke dalam mulutnya. Ia mengunyah sebentar.

     "Bener kata gue dulu, yang nikah duluan pasti si gendut."

     "Anjir, lo juga gendut tai."

     Semuanya kembali tertawa. Adit? Hanya tersenyum kikuk.

     "Parah, mantu polisi ngomongnya kasar." Rafi berbisik, "Kalau pas malam pertama lo nyerah duluan, bahaya Bro...!"

     Bukannya memberikan motivasi mereka malah memojokan Wirman. Seperti itulah persahabatan. Selalu ingin senasib sepenanggungan, tidak mau berbeda. Wirman saat itu sedang gelisah tak karuan. Ia menatap ke segala tempat berharap mendapatkan jawaban. Namun nihil, kosong. Ia bingung sekali harus melakukan apa. Jika diterima, harus apa kedepannya. Jika ditolak, matilah ia karena sudah membuat Bunga Penjara terbuai olehnya.

     "Mendingan sekarang lo balik, omongin sama orang tua." Sandi berdiri, mengambil gitarnya yang tertinggal di dekat pintu. "Selamat menempuh kehidupan baru, Cuy!."

     "Sembarangan kalau ngomong!" Wirman berdiri penuh keraguan. Ia mengambil ponselnya. "Gue pulang dulu. Di sini sesat," ucapnya sambil melakukan tos kepada Adit dan Rafi.

     Di tengah perjalanan menuju pintu keluar itu ia menatap Sandi penuh tekanan. Pria dengan kepala sedikit botak itu seperti menahannya. Ia bergerak mendekat, lalu memeluk Wirman sambil menepuk-nepuk pundaknya.

     "Jangan lupain kita ya, Cuy!" Sandi melepas pelukannya dan mengambil gitar.

     Wirman hanya mengangguk kemudian melakukan tos dan pergi. Di saat itulah mereka bertiga saling tatap. Hening, tanpa suara satupun. Lalu, setelah itu mereka tertawa bersama. Acara hari itu yang harusnya penuh kebahagiaan malah menjadi tempat ujian mental. Sungguh tidak menyangka, tapi itulah hidup. Yang diam akan meninggalkan dan yang tinggal tak akan pernah melirik. Sekalipun dia butuh, kita akan dilupakan.

     "Sekarang apa?" tanya Adit memecah suasana.

     Sandi berjalan mendekat lalu memangku gitarnya. "Nyanyi?"

     Rafi berdiri sambil mengunyah kacang. Tangannya menunjuk Sandi, kemudian berteriak kencang, "PEDIH!" katanya penuh semangat.

     Sandi tersenyum sumringah. Ia segera memetik senar seiring Rafi yang ikutn duduk. Lantunan harmonis itu membuat suasana sedikit tenang. Rafi dan Adit juga terlihat menikmati alunan lagu itu. Apalagi Sandi, suaranya lembut sekali.

     "Berisik!" Puspa datang sambil marah-marah. Ia melempar sepatu high heels-nya ke sembarangan arah. "Dasar jantan gak punya otak."

     Ia duduk di dekat ketiga pria itu, mengambil toples kacang yang dipegang Rafi dan makan kacang dengan penuh emosi.

     "Lo kenapa si, datang marah-marah?" Sandi menyimpan kembali gitarnya.

     "Diem!" Puspa memasukan kacang ke dalam mulutnya hingga penuh. "Ambilin minum!"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang