17. Luka Yang Nyata

37 12 2
                                    

     Dingin, tetapi rasanya sangat hangat. Aneh memang, itulah perasaan dan psikologis. Jiwa seakan melayang di udara, mengecup beberaap bulir air asrama. Namun, pada akhirnya tetap sama. Rasa tak mungkin berubah, sama seperti kisahnya yang dahulu pernah terjadi.

     Gadis berambut seleher itu diam di dekat tiang penyangga. Ia bersandar—menyaksikan Adit yang sedang membasahi diri dengan air hujan. Senyum di bibirnya terukir tatkala pria itu memejamkan mata sangat dalam.

     Perlahan ia melangkah, kakinya beradu dengan tanah. Senyumnya terukir, kemudian ia menutup mata Adit sambil tertawa kecil.

     "Pasti kangen masa kecil ya?" ucapnya kemudian duduk di samping Adit.

     "Hujan!" Adit menarik Imaniar dan meneduh. "Mau curhat lagi?"

     Imaniar tertawa kecil. "Boleh, tapi nanti ya..."

     Adit mengusap wajahnya yang basah. Ia berjalan pelan diikuti Imaniar di sampingnya. Keramaian di kantin sekolah membuatnya segera pergi. Masuk ke dalam kelas lalu berjabat tangan dengan semua temannya.

     "Dit, mau ke mana lo?" tanya Wirman yang sedang makan coklat batangan.

     "Jangan lupa, hari ini kita party di markas!" ujar Sandi, membuat Wirman dan Rafi tertawa.

     Adit mengangguk, kemudian pergi menghampiri Imaniar yang menunggu di luar. Ia menatap gadis itu, sekarang terlihat dengan jelas bedaknya luntur.

     "Bedak kamu luntur," celetuk Adit.

     Imaniar yang saat itu sedang tersenyum langsung ciut dan gelagapan sendiri. Ia sibuk mencari sapu tangan dan membersihkan noda bedak yang luntur.

     "Jangan panik, ayok!"

     Imaniar menyimpan sapu tangannya. "Ke mana?"

     "Ambil tas kamu, saya tunggu di parkiran." Adit langsung pergi begitu saja.

     Imaniar diam sejenak untuk berpikir. Ia mengeluh, kenapa bisa berkenalan dengan pria semenyebalkan itu. Kakinya dihentakan sebelah, lalu pergi masuk ke dalam kelas untuk mengambil tas.

     Bagi perempuan, menjaga image itu penting. Apalagi soal make up, paling nomor satu dan tidak boleh dibicarakan. Secara tidak langsung, Adit malah mengungkapkan kejujuran itu. Secara gamblang dan sedikit menyakitkan. Untung saja tidak ada orang lain yang mendengar. Jika ada, mungkin Imaniar sudah di-bully habis-habisan oleh rakyat sekolah.

     Di tempat parkiran yang cukup luas, Adit diam mematung. Tidak ada musik, earphone atau celotehan Puspa. Semua hanya sibuk ber-euporia merayakan kelulusan. Dan, saat inilah Adit menyukainya. Tenang, sendiri dan menyejukan hati.

     "Maaf lama," ucap Imaniar sambil memegang erat kedua tali tasnya. "Motor kamu yang mana?"

     "Gak ada."

     "Hah!?" Imaniar melepas pegangannya. "Jadi? Kita jalan kaki?"

     "Iya."

     Imaniar kembali memendam rasa kesalnya. Ia langsung kembali sadar dan melempar senyum palsunya. Siang menyambut sore. Adit dan Imaniar berjalan kaki menuju warung Atin dekat alun-alun. Tak ada petir atau kilatan kemaran yang Maha Kuasa. Hanya gemericik air hujan yang cukup mendinginkan badan.

     "Aden, tumben bawa cewek," kata Atin sambil menyodorkan dua gelas teh hangat.

     Adit hanya diam, sedangkan Imaniar tetap dalam senyum palsunya. "Makasih," ucap Imaniar sambil menerima pemberian Atin.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang