Sinar yang menyilaukan mata itu terlihat di ufuk timur. Cahanya terang, membiaskan warna indah pada langit yang tak tertutup awan. Sepagi itu Febi sudah sibuk mematung di depan cermin. Bola matanya yang coklat saling bertukar tatap. Hatinya masih berkecamuk atas keputusan tadi malam.
"Seragam udah kering belum ya?" ucap Eva yang baru saja selesai mandi dan sibuk mengeringkan rambutnya.
Febi menyimpan sisir yang ia pegang di atas laci. Lalu berjalan membukakan jendela, membiarkan udara pagi yang sejuk masuk.
"Kayaknya udah," jawabnya. Ia lalu duduk di kasur kapuk yang keras. Beberapa buku pelajaran dikeluarkan, lalu dibaca secara teliti.
"Aku ambil baju dulu ya, kamu jaga kamar. Kalau ada panitia kebersihan, kamu bilang aja lagi sibuk."
Febi mengangguk sembari tersenyum tipis. Matanya kembali pada buku pelajaran. Baru saja berjalan beberapa menit, bayangan pria cuek itu kembali muncul. Benaknya seakan dirusak oleh wajah menyebalkan itu. Ia tahu, semakin berusaha melupakan akan semakin dihantui hingga rindu bertahun-tahun.
"Eva udah beres mandi belum!?" ujar Putri sambil menguap dengan posisi duduk di atas kasur.
"Udah," jawab Febi tapi masih sibuk dengan pikirannya yang kacau.
"Oh...." Putri menutup mulutnya dan kembali tertidur.
"Kok tidur lagi?" Nesya masuk ke dalam kamar lalu duduk di samping Febi.
"15 menit lagi..."
Febi diam tanpa suara. Pikirannya penuh dengan kehampaan. Ia kehabisan kata untuk berbicara ataupun menceritakan apa yang sedang dialami. Adit, selalu saja menghancurkan ingatan yang indah. Meskipun gadis itu berusaha keras untuk melupakannya, tetap saja Adit selalu muncul dan menghantui.
"Maaf soal tadi malam." Nesya memegang tangan Febi. "Maksud aku gak gitu, maaf ya."
"Iya, gak papa kok."
Eva datang membawa dua buah seragam putih abu-abu di tangan kirinya. Ia melempar satu stel baju ke arah Putri.
"Bangun! Dasar kebo," titahnya.
"Iya, bentar lagi..." jawab Putri pelan.
"Sekarang!" Eva menarik selimut yang dipakai Putri. "Telat, jangan salahin siapa-siapa!"
"Ih! Iya, aku bangun." Putri berdiri lalu mengambil handuk dengan langkah kaki yang pelan.
"Harus dididik keras si Putri," celoteh Eva. "Nesya, udah ada sarapannya?"
"Tukang buburnya belum mangkal."
"Yah, kita gak sarapan dong?"
Putri yang saat itu sedang di kamar mandi berteriak kencang. "OMG tanpa sarapan? Gimana kalau pingsan!"
Eva tertawa kecil lalu pergi untuk memakai seragamnya. Nesya cekikikan sendirian. Ia melihat Febi yang sibuk menghafal. Gadis itu terlalu serius dalam semua hal. Wajar saja jika ia menjadi seorang perasa bahkan mudah sakit hati dan merutuk diri sendiri.
"Masih ada waktu beberapa jam lagi, Feb. Jangan paksa otak kamu mencerna semua pelajarannya," ujar Nesya sambil tersenyum.
Febi menutup buku lalu memasukannya ke dalam tas. "Aku duluan ke kelas ya!" ucapnya lalu pergi dengan terburu-buru.
"Feb! Kamu mau kemana? Ini masih pagi!" teriak Nesya yang berhasil mengundang Eva.
"Mau ke mana dia sampai buru-buru gitu?"
Nesya menggeleng. "Kebiasaan."
"OMG! Gak sarapan? Nanti pingsan gimana," ketus Putri.
"Nanti sarapan bakwan aja, gak usah ribet!" balas Eva, terdengar suara mengeluh dari dalam kamar mandi.
Febi berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia menatap ke arah belakang, memastikan bahwa tidak ada Rafa atau pria lain yang mengikutinya. Angin saat itu berhembus pelan, bulu di lengannya berdiri-terkejut menerima serangan udara dingin secara tiba-tiba.
"Assalamu'alaikum," ucapnya setelah sampai di depan kelas kemudian duduk di bangku kosong.
Tas itu ia angkat ke atas meja kemudian kembali membaca buku pelajaran. Pikiran kembali pada Adit. Sulit sekali untuk fokus. Bahkan, membaca satu kalimat saja rasanya berat. Ia tak mampu melakukan rutinitasnya.
"Maafin aku, Kak," batinnya.
Beberapa menit kelas masih sepi. Matahari kian naik menggeser waktu kerusuhan di pagi hari. Tak heran, ini SMA bukan pesantren yang sekejap langsung banyak siswanya.
Di sini, banyak sekali murid rantauan untuk menuntut ilmu. Contohnya Febi, yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Bandung. Seperti siswa dan siswi lainnya. Sedangkan sebagian lagi adalah masyarakat sekitar yang masuk ke sekolah ini lewat jalur zonasi dan name.
"Febi?"
Pria dengan rambut kelimis itu masuk ke dalam kelas. Kedua tangannya memegang erat tali tas hitam. Ia berdiri di depan Febi. Sesekali menyedot ingusnya yang hampir menetes.
"Kamu ngapain pagi-pagi udah di sini?" tanyanya sambil menyimpan tas di atas meja.
"Pengen aja."
"Aku punya sesuatu buat kamu." Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Dari Rafa."
Sebuah bucket bunga dan coklat yang sudah hancur itu di simpan di atas meja. Febi bergeming, tak mampu mengucapkan kalimat yang sudah menohok di hati. Kedua matanya menatap pria itu dengan seksama. Tampak senyum ceria yang diberikan olehnya. Sangat pedih, namun bimbang juga menyertainya di sana.
"Terima aja, lumayan buat pajangan." Pria itu duduk di bangkunya lalu mengeluarkan buku tulis. "Kalau emang gak suka, jangan sampai diinjak kayak gitu. Belinya pake duit, bukan pake kertas."
"Aku gak tau, kalau ternyata sampai bisa rusak gini."
Pria itu bernama Isryad. Sikapnya yang santai dan tidak mudah emosian membuat lawan bicaranya nyaman. Tetapi saat ia marah, dunia terasa gelap. Sunyi tanpa suara, dia bisa saja diam seribu bahasa.
"Kamu boleh milih. Tapi kamu juga harus tau konsekuensinya. Apa yang kamu lakuin itu gak baik, tau?" Irsyad mendekat. "Kalau emang gak suka tolak secara halus."
"Kamu gak usah ceramahin aku pagi-pagi. Kamu gak ngerti kejadian yang sebenarnya."
"Kamu itu kayak teh manis yang kebanyakan disimpan tehnya. Tau?" Isryad kembali duduk di kursinya. "Pahit!"
Ucapannya seketika membuat luka di hati terbuka. Terlalu menusuk, berlebihan. Pria diam seperti dia tidak bisa diajak bercanda atau main-main. Hati-hati saja-mereka yang diam akan selalu menyakitkan ketika mengungkapkan kebenaran.
Febi menarik napasnya sambil mengusap wajah. Perlahan ia bangkit dan mengambil bucket bunga serta coklat itu. Lalu berjalan ke luar kelas. Irsyad yang melihat itu hanya tersenyum. Ia tahu, Febi akan segera melakukan sesuatu yang akan mendamaikan keadaan.
Derap kakinya menggaung di lorong sunyi. Pandangannya tertunduk hingga sampai di depan kelas Rafa. Ia berdiri di ambang pintu. Beberapa suara pria menyambutnya. Bukan memuji, lebih kepada menghina.
Rafa berjalan mendekat, "Ada apa?"
Febi menyodorkan bucket bunga dan coklat. "Maaf, aku udah rusakin ini."
Rafa tertawa kecil. Membuat Febi khawatir. "Gak usah dipikirin." Rafa mengambilnya lalu pergi mengobrol bersama temannya.
Febi segera pergi, mengundang perhatian sinis Rafa. Pria itu diam di ambang pintu. Kacamatanya yang melorot ia benarkan sedikit. Gadis itu berlari kecil di lorong yang mulai ramai dengan siswa-siswi SMA 1 Cisarua. Ia tahu, bagaimana sakit dan bimbangnya diam di antara dua harapan. Tetapi, setidaknya inilah jalan yang dipinta Febi. Ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya.
☔PATAH H💔TI☔
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...