22. Persiapan Tunangan

23 11 2
                                    

     Perasaannya tak karuan, resah dan gelisah. Sekali saja berpikir secara logis pun tak mampu. Hanya bisa terdiam sambil mengeluh atas kejadian barusan. Sesekali, ia menghentakan kaki ke tanah sebagai pelampian.

     "Kenapa jadi kayak gini!" katanya sambil menendang ranting yang menghalangi jalan.

     Ia membuka ponselnya. Sebelas notifikasi dari orang tersayang dengan emoticon love membuat harinya kian meresahkan. Bingung, tak tahu harus berbuat apa.

     Pesan itu dibuka, menampilkan beberapa kalimat singkat ungkapan bahagian. Wirman meringis perih, bukan karena sakit atau menahan amarah. Hanya saja ia bingung harus melangkah atau mundur.

     Sepatu putihnya ia lepas di depan teras sebuah rumah bercat abu. Ia mengetuk pintu, seorang pria dewasa menyambutnya dengan hangat.

     "Wey, gimana party-nya? Asik?" ujarnya sambil menggerakkan tangan seperti Reaper.

     "Emak mana? Ada yang perlu diomongin."

     Pria dewasa itu diam sejenak, namanya Darwis. Ia segera pergi memanggil istrinya. Wirman duduk di sofa dengan perasaan tidak tenang. Kedua tangannya diremas, sangat khawatir.

     Saat itu wanita dengan kerudung warna salem datang bersama Darwis di sampingnya. Wirman langsung berdiri sambil menyalami tangan keduanya, lalu duduk kembali.

     "Ada yang mau diomongin katanya," ucap Darwis kepada istrinya.

     "Ngomong apa, Man. Penting banget emangnya?" sahut wanita berkerudung salem.

     "Man..." Wirman menelan ludahnya dengan kasar. "Mak, Abah kan udah tau Man pacaran sama si Neta. Tadi Bapaknya datang, dia minta Man buat kawinin si Neta."

     Mendengar itu Darwis langsung tertawa terbahak-bahak. Sedangkan ibunya hanya diam sambil menatap penuh penyesalan.

     "Ibu punya salah apa sama kamu, Man? Ibu sekolahin kamu dari kecil biar kamu bisa jadi orang baik." Wanita itu mengerjap, "Jangan sampai bilang kalau kamu hamilin Neta."

     Darwis yang sedang tertawa itu langsung diam. Wirman berdiri sambil menggoyangkan kedua tangannya sebagai tanda tidak melakukan itu.

     "Bukan, Mak. Maksudnya, Bapak si Neta mau Man nikahin Neta secepatnya." Wirman duduk lagi sambil menatap kosong ke depan. "Neta cinta mati sama Man."

     Kali kedua, Darwis tertawa. Sedangkan istrinya hanya diam mendengar apa yang diucapkan Wirman. Ia menyenggol suaminya dan membuat keadaan hening seketika. Setelah itu ikut tertawa membuat Wirman semakin kebingungan.

     "Man serius. Mak, Abah, Man bingung harus ngapain." Wirman beranjak dari sofa yang didudukinya. "Mereka nunggu kita malam ini."

     "Hore! Abang kawin!" teriak Cipung, adik perempuannya yang masih kecil. "Mak, Abang mau kawin ya?"

     Wanita berkerudung salem itu hanya tersenyum manis lalu menggendong Cipung. "Sekarang?"

     Wirman mengangguk. Ia duduk lagi sambil menunjukan wajah memelas. Kasihan sekali, tetapi itu harus dijalaninya.

     "Malu, Man. Kita orang gak punya. Mau kasih apa buat mereka."

     Mendengar itu Wirman semakin gelisah. Ingin putus, sudah sayang. Walaupun baru pacaran lima hari tapi rasanya sudah mantap dan tidak mau pergi. Sekalipun pergi, bahaya! Nanti bisa jadi buronan karena sudah berani memberikan harapan palsu pada anak polisi.

     "Itu yang bikin Man bingung." Wirman menatap wajah Darwis yang masih tertawa kecil. "Abah, gimana?"

     "Abah gak bisa apa-apa, keputusan ada di kamu."

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang