Mentari menunjukan rasa bahagianya di pagi itu. Panasnya tidak terlalu menyengat, aman sekali untuk pergi berekreasi. Ke empat gadis SMA 1 Cisarua sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Koper besar dan tas besar serta beberapa makanan sudah ditata rapih di dekat pintu.
Mereka akan pergi ke mana setelah dari asrama? Yang pasti mencari tempat untuk hidup yang lebih baik. Pulang ke rumah orang tua, bertemu sanak sodara lalu minum dan makan di ladang penuh rumput hijau.
"Hati-hati, jangan lupain aku ya," ucap Febi sambil berkaca-kaca. Ia memeluk Eva.
"Gue pasti kangen sama lo," ucap Putri sambil ikut memeluk Eva.
"Nanti pesankan kita tiket pesawat gratis ya," ucap Nesya sambil memeluk juga.
Eva hanya menggangguk kemudian pergi sambil menyeka air matanya. Tangan kiri memegang koper yang kanan melambai pelan. Hatinya berkecamuk penuh harapan palsu. Ia tidak tega meninggalkan teman-temannya. Namun, demi masa depan ia harus meninggalkannya.
"Eva...." kata Nesya dengan suara yang parau.
Febi segera bergegas menggendong tas dan menjinjing kantung keresek. Begitupun dengan Putri, Nesya dan semua orang yang akan pergi meninggalkan asmara.
Mereka kembali berpelukan. Saling menukar tangis, merasakan kepedihan pertemuan yang diakhiri dengan perpisahan.
"Kalian harus sukses di sana, kalian harus janji sama aku, kalian harus bisa!" kata Febi penuh penekanan.
Nesya mengangguk sambil sesekali menahan air matanya agar tidak jatuh. Mereka saling tatap, lalu sibuk kembali dengan barang-barangnya. Satu persatu mulai melangkah pelan meninggalkan asrama. Febi diam sejenak untuk menghirup udara di dalam kamar yang sudah wangi. Dilihatnya foto kenangan bersama yang sengaja ditinggalkan.
"Kita akan ketemu lagi," ucapnya pelan kemudian menutup pintu.
Beberapa siswa dan siswi sedang sibuk membawa barang-barang mereka. Seperti semut, mereka berbondong-bondong memasuki bus yang akan membawanya pergi ke tempat tujuan.
"Dah...! Jangan lupain kita ya!" ucap Putri sambil melambaikan tangan ke Nesya.
Sekarang tinggal mereka berdua. Febi dan Putri saling tatap. Tangannya saling memegang, lalu saling merangkul dan menangis lagi. Siswa yang saat itu ada didekatnya hanya menatap risih. Lebay, dasar cewek, batinnya.
Bus yang akan dinaiki Febi berhenti di depannya. Ia segera masuk ke dalam, lalu duduk di dekat kaca sambil melihat keluar. Putri sedang tersenyum sambil melambaikan tangan. Ia juga membalasnya, lalu bus mulai berjalan.
Speaker yang mengeluarkan lagu pop band Indonesia menemani perjalanannya. Saat itu, lagu yang diputar berjudul Pedih, milih Last Child. Febi menutup matanya, bergoyang karena hukum newton III dan menikmati alunan lagu yang diputar.
"Jangan tidur, nanti gak bisa turun," kata gadis berkerudung cokelat di sampingnya.
Febi mengangguk dan berbenah agar tidak ketiduran. Sesekali ia melihat layar ponselnya, sudah hari ke satu sejak pengumuman masih belum juga ada kabar. Resah, kapan bisa dibalas? Dibaca pun tidak pernah.
"Kamu mau turun di mana?" tanya gadis di sampingnya.
"Di terminal saja, terus naik angkot kayak biasa."
"Kenapa gak nunggu jemputan aja? Kalau ada apa-apa di jalan gimana?"
"InsyaAllah gak akan ada apa-apa."
"Kamu cewek pemberani, hebat!"
Percakapan itu terhenti setelah ponsel Febi bergetar. Ia segera melihatnya, notifikasi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Hatinya berbunga sesaat, kemudian ia membacanya dan langsung merenung. Wajah cerianya luntur seketika.
"Kamu kenapa?"
Febi mematikan ponselnya. "Gak papa."
Sungguh sakit hati. Pesan kebahagiaan yang ia kirim ke orang baru dikenal itu hanya dibalas dengan tanda tanya, "hanya tanda tanya." Muak, jengkel dan kesal sekali rasanya. Tapi namanya juga cinta, tetap saja ada perasaan memaafkan.
Mentari menggeser posisinya ke siang hari. Bus itu berhenti di terminal. Febi segera turun sambil menenteng keresek yang cukup berat—untuk tenaga wanita. Ia meneduh pada seng di tepi jalan. Sambil menunggu angkot, ia juga menelepon orangtuanya. Sial, tidak ada respon. Dari kemarin sama saja seperti itu, entah tidak ada internet atau memang ada masalah lain. Keluarganya selalu seperti ini jika sedang ingin dihubungi.
Angkot dengan setengah penumpang itu ia stop. Dengan cepat Febi masuk dan duduk di dalam. Aroma ketiak, bau kaos kaki dan rambut yang tidak dicuci tercium saling menyatu. Febi langung menahan dan mengatur napasnya pelan. Oksigen di dalam angkot itu sepertinya sudah habis ditutupi aroma manusia.
Untung saja perjalanan itu tidak terlalu lama. Febi langsung turun setelah memberikan beberapa uang recehan pada si sopir. Ia melangkah dengan buru-buru masuk ke gang kecil. Di sana, banyak anak kecil yang bermain. Suaranya, menggemaskan. Memekakkan telinga sekali. Siapa yang tidak tau mainan itu, lato-lato.
"Kak, bisa kayak gini gak?" ucap bocah laki-laki sambil menunjukan skil bermain lato-latonya yang waw, biasa aja.
Febi hanya cengegesan sambil buru-buru jalan dan menjauh. Anak-anak kampung itu memang mersahkan, mengganggu kesyahduan alam semesta dengan bunyi lato-lato.
"Assalamualaikum," ucapnya sambil meletakan keresk dan tas di depan teras. "Bu, Pa!"
Pintu itu ia buka, tampak kosong, tidak ada siapa-siapa. Ke mana mereka perginya?
Febi menghembuskan napas panjang. Ia duduk sambil melepas sepatu. Ditunggu, tetap tidak datang. Ia pasrah, berpikir mungkin keluarganya sedang berkunjung ke rumah saudara. Keresek dan tas itu ia bawa masuk ke dalam rumah.
"Bu, Pa...!"
Ia duduk di sofa merah yang sudah empuk karena busanya hilang sebagian. Ia menghela napas lega. Ponsel yang dipegang tak kunjung dilihat setelah tahu pahitnya reaksi si penerima.
"Suprise!"
Wajah ceria dan penuh haru muncul di balik gorden kamar. Sepotong kue besar dengan lilin di atasnya meronakan pipi Febi. Matanya yang seperti kaca, mulai meneteskan air mata. Secepat kilat ia memeluk Ibu, kemudian ayahnya.
"Febi kira kalian gak ada di rumah," ucapnya dengan tangisan haru.
Ibunya mengelus pelan kepala Febi. Lalu bersenandung merayakan kebahagiaan. "Kamu hebat, mau minta apa?"
Febi menggeleng. "Febi sekolah karena Febi mau pencapaian sesuatu, bukan hadiah."
Ibunya tersenyum bangga. Ayahnya, menatap haru. Anak yang mereka didik dengan keras sudah menjadi pribadi yang baik. Sekarang, tidak terasa sudah menginjak masa dewasa. Waktunya membiarkan ia bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Terserah mau seperti apa, yang pasti mereka ingin melihat anaknya berhasil dalam segala hal. Sama seperti orang tua kita.
"Tiup dulu lilinnya!" ujar ayahnya membuat suasana kembali gembira.
Febi mendekatkan wajahnya ke lilin kecil itu. Hawanya panas, aromananya enak. Dan setelah ditiup, ia merasakan aromanya menjadi menyengat. Lilin itu seperti masa lalu yang indah. Diingat, membuat kita senang dan gembira. Dipaksa dilupakan, malah membuat kita semakin tertekan.
☔PATAH H💔TI☔
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...