"Mau psikotes juga ya?" tanya seorang pria berkamata. Tubuhnya tinggi tapi tidak berisi.
"Iya," jawab Adit gugup.
"Jangan gugup, nanti bisa ngaruh ke hasil psikotesnya."
Mendengar itu Adit langsung menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya. "Saya belum pernah psikotes sebelumnya."
Pria itu menepuk pundak Adit. "Ini saat yang tepat buat kamu belajar. Semangat! Kita pasti bisa."
Adit mengangguk. Seorang satpam dengan tubuh tegap menyuruh semua peserta masuk ke dalam ruangan. Tiga orang perempuan menyambut ke datangan peserta dengan wajah ceria. Mereka duduk, saling berhadapan dengan peserta. Lalu setelah itu mulai berbicara.
Waktu terus berjalan, sebuah kertas ukuran A3 diberikan, semua diberikan waktu satu jam untuk mengerjakan deret angka yang diperlihatkan. Adit bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Untung saja, wanita dengan tubuh kecil langsung menjelaskan bagaimana cara pengisian dengan detail dan jelas.
Saat stop wacth ditekan, semua keadaan hening seketika. Hanya suara goresan pena yang terdengar. Deru napas membara, semangat yang mulai padam kini terlihat di sana. Keringat perlahan mengucur dari pelipis sebelah kiri. Begitu paniknya, mereka hampir tak sadar bahwa waktu sudah mulai menipis.
"Stop!"
Semua peserta mengangkat kedua tangannya ke atas. Seperti akan dihanyutkan dalam aliran sungai yang deras, perasaan was-was dan takut mereka langsung hilang. Kini mereka khawatir.
"Nama yang saya panggil silahkan keluar."
"Asha, Dirsyam, Feny, Husaeni, Bima..." Dan seterusnya sampai yang tersisa hanya sepuluh orang.
"Ikhsan, David, Rahman, Zanita, Konita, Adit."
Adit kebingungan sekali. Ia lantas mengikuti alur bersama teman-teman yang lain. Seorang wanita dengan rambut ombre tersenyum simpul. Ia menatap semua peserta itu secara bergantian.
"Terimakasih sudah melamar di perusahaan kami, maaf. Kalian tidak lulus dalam psikotes. Tetapi, saya yakin. Di luar sana ada perusahaan yang lebih baik dan sesuai dengan kalian."
Perempuan berambut ombre itu pergi. Beberapa wajah peserta kecewa menemani perjalanan Adit menuju pulang. Luka yang nyata ini terasa sangat pedih. Harapannya patah, hilang dimusnahkan oleh kekacauan alam semesta.
Adit tidak sudi untuk naik anggkutan kota lagi. Ia memilih berjalan, selain karena keuangan menipis, ia juga harus mencari pekerjaan lain yang sesuai. Saat itu. Ada sebuah info lowongan yang ditempel di depan pintu pagar perusahaan. Adit segera menemui satpam, langsung ke dalam untuk mengikuti psikotes dan wawancara.
"Maaf, Anda tidak kami terima karena tidak sesuai kriteria."
Kata-kata itu kembali terdengar dengan jelas di telinganya. Gagal sudah dua kali. Belum sempat tahap wawancara saja sudah susahnya sampai seperti ini. Adit benar-benar terbelenggu rasa kecewa. Ia ingin menyerah, tetapi di sana mungkin Ibu sedang duduk di teras rumah menantikan kabar bahagia anaknya.
Berikutnya, lowongan pekerjaan baru lagi. Itu bukanlah tempat perusahaan produksi atau semacamnya itu terlihat seperti perusahaan penyalur tenaga kerja yang bersifat resmi. Adit masuk ke kawasan tersebut. Senyum penjaga menyambut kedatangannya. Lamaran yang sempat beberapa hari yang lalu membuatnya cepat dipanggil HRD.
Soal psikotes kali ini berbeda, tahapannya ada lima. Harus lulus semua, jika tidak. Akan dicap gagal dan tidak layak untuk mengikuti psikotes lagi. Saingannya pun besar-besar. Ada yang S1, D3, bahkan anak guru. Berat memang tapi inilah kehidupan. Tidak seru jika tidak diberikan tantangan.
"Maaf, Anda belum bisa bergabung dengan perusahaan kami."
Hancur sudah harapannya. Ia bersama kedua pria berbaju putih itu berjalan menuju halte bus.
"Udah pernah kerja di mana aja lo?" tanya pria dengan rambut kelimis.
"Saya lulusan baru." Adit menghela napasnya sebentar. "Kamu?"
"Gue di rumah aja kerjanya." Pria itu tersenyum kikuk. "Nganggur udah satu tahun."
Adit menelan ludahnya kasar. Ternyata hidup yang paling pahit itu saat seperti ini, batinnya. Baru saja berharap, langsung dipatahkan. Dihancurkan berkeping-keping tanpa syarat dan aba-aba.
Begitulah percakapan yang berakhir di perempatan jalan itu. Adit kembali berjalan sendirian, menahan sakit atas harapan yang tidak terkabulkan. Ia tidak ingin pulang dengan membawa kabar menyedihkan. Di sanalah, ia menahan luka untuk tidak terlihat lemah. Air matanya perlahan hendak turun, namun ia segera mengedip karena ingat perkataan ibunya agar tidak menangis.
"Laki-laki gak boleh nangis, harus kuat!"
Kalimat itu yang selalu ia ingat. Sadar, tetapi sedikit menyakitkan. Seperti ini dunia ilusi ternyata. Mengedepankan semua jabatan untuk menjadi acuan perusahaan. Tertolak, ditolak, hampir semua sama saja. Kenapa harus diuji jika kemudian yang dicari hanya materi. Jika orang mampu menafsirkan hidup untuk acuan, kenapa mereka yang berjabatan selalu menjadi acuan?
Tidak ada harapan baru lagi. Ia diam sejenak untuk menghela napas dan menukar udara bersih dengan yang kotor. Ponselnya kala itu berbunyi. Ia membukanya dan mendapati pesan dari gadis di masa lalu.
Sebuah kiriman membangkitkan jiwanya. Ia sadar harus bersikap lebih. Setidaknya, ini adalah jalan untuknya menjadi lebih baik. Ia mengirimkan surel ke perusahaan ritel tersebut. Menghitung sakit yang menghujam sudah tidak bisa, apalagi menguatkan diri untuk harapan yang mungkin dipatahkan lagi.
Adit menyerah, harapannya telah hilang ditelan orang berjabatan. Ia duduk di halte. Cacing di dalam perutnya sudah mengamuk karena lama tidak diberi makan. Uang yang dibawa pun tidak cukup untuk membeli nasi dan lauk pauknya. Tidak ada jalan lain, selain pulang dan menyampaikan berita menyedihkan.
Bus biru kembali menyapanya. Ia naik, kemudian duduk di samping jendela. Uang yang dibekal hanya cukup untuk satu kali naik bis. Setelah itu kembali berjalan kali beberapa kilometer sebelum mencapai titik terdekat untuk kesedihan.
Jalanan ibu kota ramai sekali. Adit baru sadar, ternyata tidak hanya dia yang gagal. Beberapa pria, bahkan wanita pun berjalan penuh kecewa di sana. Ia mengerjap, betapa beruntungnya ia masih lulusan baru tapi tidak sebuntu mereka. Hanya saja, ini proses menyakitkan dalam hidup.
Ting!
Sebuah surel masuk. Ternyata itu panggilan interview dari perusahaan ritel yang ia kirimkan lamarannya tadi. Adit mengerjap, tidak ada harapan selain pergi dan melupakan bidang pada jurusannya. Ia tertegun dalam buaian narasi dunia. Sungguh sakit tapi harus ke mana lagi.
Bus biru itu berhenti di halte yang kosong. Adit memberikan beberapa uang recehan dan turun. Langkah kakinya menggontai penuh penyesalan. Semangat di pagi hari kini murung penuh misteri. Jalanan yang berbebu seakan menambah nuansa menyedihkan. Seram, seperti ditertawakan semesta karena gagal.
Tid!
Klakson mobil putih itu membuatnya terkejut. Lantas segera kembali sadar dan tidak melamun lagi. Jika memang iya harapan diciptakan untuk sebuah pencapaian, lantas kenapa begitu mudah dipatahkan tanpa sebuah persetujuan. Seperti ini kah hidup, harus mempunyai jabatan baru bisa diterima? Sungguh dunia tidak adil. Hukum telah menjerat semua harapan, untuk dipatahkan.
☔PATAH H💔TI☔
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...