Malam itu, Bandung berhenti menangis. Jalan di Buahbatu tampak sepi dengan kendaraan. Hanya beberapa sepeda motor yang melintas menyibakkan udara.
Ia duduk di sebuah kursi panjang dekat warung di pinggir jalan. Atin sibuk memasak pisang goreng yang biasa dijajakan untuk pekerja bangunan. Adit menoleh pada beberapa orang yang merokok. Ia menjauh, lebih menikmati dunia dengan caranya sendiri.
Menurutnya ini lebih mengasyikan daripada sok gaul dengan mencoba nikotin dan narkotika. Ia happy dalam imajinasinya. Tidak peduli tatapan liar dari orang lain, yang penting bahagia dengan cara sehat, bukan sesat.
Ponselnya kembali bergetar. Nomor tidak dikenal tiba-tiba menghubunginya. Ia menatap sebentar layar ponselnya kemudian mengangkatnya.
"Adit, maafin gue. Gue khilaf udah..."
Belum selesai orang itu bicara Adit malah mematikannya. Ponselnya kembali bergetar tapi tidak diangkat. Ia menengadah, berharap suatu hari nanti perempuan itu mendapat balasan atas apa yang telah dilakukannya.
Ketika hati sudah terluka maka tidak ada obat untuk menyembuhkannya. Itulah yang dirasakan Adit sekarang. Patah hati terlalu menyiksa hidupnya. Ia ingin melupakan tentang wanita itu. Tentang masa-masa indah yang telah berlalu. Namun, ia malah kembali lagi. Menggores masa depan dan merusaknya.
"Pisang gorengnya, Den," ucap Atin yang tiba-tiba muncul dan menyodorkan sepiring pisang goreng yang besar-besar.
"Makasih, Bi." balas Adit tanpa segera memakannya.
Adit memang sering dipanggil Aden. Bahkan itu sudah menjadi hal yang lumrah untuk sekitaran tempatnya tinggal. Padahal sangat jauh dari Adit ke Aden. Hal itu terjadi beberapa tahun silam saat Adit berusia 5 tahun. Saat itu ibunya memanggil namanya dengan lengkap, namun Adit marah dan mengatakan bahwa namanya adalah Raden Kian Raharjo. Ucapan polos itu mampu membuat siapa pun tertawa termasuk bapaknya yang sedang mencuci motor.
Kali ini laki-laki itu diam dengan mengetuk-ngetuk meja. Ia tidak memakan pisang goreng yang ditawarkan, tidak pula ikut bergabung bersama pemuda lainnya yang merokok.
"Kita ketemu lagi," ucap Febi yang datang dan tanpa izin langsung duduk di samping Adit.
Cukup lama Febi menatap Adit sebelum akhirnya menjadi salah tingkah ketika tidak sengaja keduanya bertatapan langsung. Ia, dengan gelagapan takut dan panik langsung mengacak-acak isi tasnya-pura-pura mencari sesuatu.
"Adit! Ngeselin banget sih." Puspa berlari dan menjitak kepala Adit.
"Gak usah galak-galak, Mbak!" Febi berdiri dan memukul tangan Puspa.
"Lo gak usah ikut campur!" Puspa menyimpan buku yang didekapnya di atas meja dan menjambak Febi. Perkelahian keduanya tak bisa dihindarkan.
Dengan santainya Adit melenggang pergi menghampiri Atin yang tengah sibuk menyeduh kopi. Ia memberikan beberapa lembar uang sebagai pembayar setiap keringat Atin, walaupun tidak seberapa. Ia kembali menghampiri dua gadis yang saling jambak dan mengoceh. Tangannya dilipat di depan dada, memerhatikan ke duanya yang bertarung dengan tangan kosong.
"Gak malu diliatin orang?" katanya membuat Febi berhenti tapi Puspa malah kembali memancing emosi dan perkelahian berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...