45. Resign

17 2 0
                                    

   Selepas senja kemarin, Adit berjalan melewati beberapa pengendara ojek yang mengharapkan dia akan naik. Sebuah earphone yang memutar lagu Turki kembali dikenakan. Kali ini, judulnya cukup sama hanya liriknya yang mampu menyayat perasaan.

   Lagu Gul Rengi yang dinyanyikan Mustafa Ceceli itu menemani setiap langkahnya. Udara sejuk masuk ke dalam hidung mensirkulasi paru-paru dengan baik. Melodi yang dihasilkan masih saja mengenang di dalam gendang telinga. Sesuatu yang ia mengerti dari lirik tersebut adalah; Cinta ada di mana saja dan milik siapa saja.

   Ringkasan itu membuat langkahnya terhenti sejenak. Dengan segera Adit melepas earphone dan memasukannya ke dalam tas. Lagu yang diputar terhenti, seiring dengan langkahnya yang menggema dalam ruangan kotak penuh perabot.

   Ia masuk, menyibakam gorden biru yang menutupi ruangan penting. Beberapa orang menatapnya kemudian sibuk kembali ke pekerjaan masing-masing. Kartu absen yang ia bawa segera ditempelkan pada sensor kemudian melakukan tes sidik jari dan pergi ke atas untuk menyimpan tas.

   Jaket army yang ia kenakan dilepas. Lelaki itu diam sejenak, memikirkan rencana apa yang harus ia lakukan selanjutnya.

   "Cepat! Ngapain ngelamun pagi-pagi?" ucap gadis bertubuh cungkring.

   Sebuah sapu plastik berwarna pink itu ia angkat sebagai tanda ancaman. Adit tidak menjawab, hanya mengangguk lalu pergi ke bawah mengambil kartu absen dan meninggalkan jaket di dalam tas.

   Tidak hanya si Supervisor, staff yang ingin terlihat baik di depan atasan juga banyak yang suka marah tiba-tiba. Termasuk, gadis cungkring yang menyuruhnya pergi tadi.

   "Beresin! Gue capek kerja mulu." Ucapan itu membuat Adit mengerti, ternyata ada yang tidak pake hati di sini.

   Ia hanya mengangguk, mengiyakan perintah seniornya yang kelewat berlebihan. Dalam hati, Adit sudah tahu harus melakukan apa. Tindakan yang ia ambil akan membuat Manager kebingungan.

   "Abis itu, beresin stok lu! Banyak, gak heran kalau ada tikus tiap hari," katanya sekali lagi kemudian pergi untuk mengecat kuku.

   Adit menggelengkan kepala. Ia menyudahi pekerjaannya itu dan merapikan stok di gudang. Kini, tak peduli apa kata yang lain. Yang pasti ia sudah mengerti maksud dan tujuan rencananya yang harus disegerakan.

   "IH MUSOWO!"

   Suara itu membuat semuanya menoleh. Perempuan yang sibuk mengecat kuku tiba-tiba sok sibuk dengan beberapa berkas yang ia susun rapi.

   Wanita yang menyandang gelar Manager itu langsung duduk di depan komputer. Tasnya di simpan di atas dus kertas thermal pengeluaran barang. Tangannya dengan cepat mengetik pada keyword.

   Semua staff sudah duduk melingkar untuk mempersiapkan diri. Hanya ada enam orang pegawai pria dan sisanya perempuan semua. Mata mereka teruju pada ketua, si Supervisor yang paling besar kendalinya. Dia berdiri, berbisik dengan manager tapi diabaikan. Alhasil ia kembali duduk, dan memulai briefing.

   Hanya pembahasan biasa, tapi memang memotivasi. Adit bertepuk tangan sebentar kemudian diam lagi. Ia merasa kagum dengan ular dihadapannya. Sangat pintar membolak-balikan fakta. Setiap hari hanya membicarakan kekurangan para pegawai di depan atasan. HEBAT!

   "Mendingan sekarang kita buka toko aja," ucapnya diiringi anggukan.

   Mereka berdiri, mengepal tangan dan saling menyeru untuk yel-yel di pagi hari.

   "Dit, karpet dulu nanti ke sini lagi!" titah Pria berjawah sedikit tua.

   Adit mengangguk. Sayang sekali, pria itu masih muda tapi wajahnya sudah seperti orang dewasa. Seperti pada biasanya. Ia melakukan pembersihan keset yang betuliskan “Welcome.” dan menyimpannya di tempat biasa.

   Dengan langkah cepat ia menaiki tangga. Bertemu dengan Kepala counter dan pegawai yang lain—termasuk teman senasib sepenanggungannya.

   "Adit, Yoan, Nova," ucapnya gelisah. "Kalian harus lebih semangat kerjanya."

   "Tumben ngomong gitu?" tukas pria di sebelah Adit.

   Sang Kepala tersenyum simpul. "Mau keluar, titip ya," katanya dengan tersenyum kikuk.

   "Kenapa keluar? Kita masih butuh Kepala," ujar pria di samping Adit lagi.

   "Masih ada impian lain," jawabnya tenang tapi wajahnya terlihat sangat tidak bahagia.

   Saat itu Adit dapat merasakan api yang berkecamuk di dalam dada. Luka di hati sudah membuat Sang Kepala merasakan kepedihan. Adit tahu itu, Adit dapat merasakan itu.

   "Saya pamit..." ucapnya tanpa permisi meninggalkan sejuta kebimbangan.

   Pria di samping Adit mengeluh tanpa henti. Ia melambai tapi tidak lama. Kepergian ketua di sana, membuat semuanya terasa hancur. Berat sekali.

   "Kamu harus sabar, profesional saja," tutur Adit kepada cewek di sampingnya. "Jangan bingung, kita semua sama derajatnya."

   Setelah percakapan itu berakhir, ia pergi mengerjakan tugas yang tidak terlalu penting untuk saat itu. Hanya membersihkan barang agar tidak terus berdebu. Dalam hati, terus saja mengeluarkan kata kecewa. Apalagi setelah sang Kepala melambaikan tangan dan pergi begitu saja.

   "Tai!" celetuk pria yang sedang mengambil sample barang untuk dijadikan paketan. "Kenapa dia pake pergi segala."

   Adit hanya menggeleng sambil tersenyum. Bukan sang Kepala saja yang sepertinya akan pergi. Semua orang pasti tidak akan tahan dengan tekanan yang tinggi dan jam over.

   "Jangan marah, bersikap profesional saja," ucapnya dipotong panggilan dari balik display barang.

   Adit menghela napas panjang. Melihat hidung yang tidak terlalu mancung dan tubuh mungil membuatnya malas untuk berbicara dengan cewek itu.

   "Awas lo bilang yang aneh-aneh sama atasan!" ancamnya sambil menunjuk.

   Adit memberikan senyuman kecil. "Kamu kerja atau tidak, saya gak peduli. Yang punya perusahaan juga bukan saya." ucapnya kemudian pergi.

   Cewek itu berdecak kesal. Tangannya mengepal kuat lalu dengan berat hati turun ke lantai satu.
  
   Kala itu, raungan raja singa tidak lagi terdengar. Entah dia sedang sibuk atau pergi ke luar, yang pasti hari itu menenangkan telinga sekali.

   "Adit!" panggil Siti, pelayan di bagian alat tulis kantor. "Sini dong! Aku mau ngomong."

   Adit mengangguk lalu mendekat sambil membawa kemoceng di tangan kanannya. "Ada apa?"

   "Tadi aku nonton film India, lho!"

   "Hm..." Adit menatap kedua matanya yang coklat. "Terus?"

   "Tentang anak yang dijodohkan sama duda." Ia beralih mengambil pensil dan memeluknya. "Ganteng banget, jadi pengen nikah sama duda India."

   "Bagus! Semoga impian kamu terwujud."

   "Eh!" Ia menyimpan pensil di atas etalase. "Kamu mau gak, dijodohkan sama tante-tante India?"

   Adit mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan konyol itu. "Tante-tante?"

   "Iya, lho... Pasti kamu keren kalau sama tante-tante."

   Adit menggeleng. "Orang Indonesia masih banyak yang perawan dan cantik, kenapa harus tante India?"

   "Aku hanya menyarankan, itu sih terserah kamu mau apa nggaknya..."

   "Terimakasih, tapi untuk sekarang saya tidak bisa memikirkannya."

   Percakapan itu berakhir ketika perempuan cungkring datang sembari mengalunkan senandung yang kurang enak didengar. Siti langsung sibuk mengerjakan banyak hal dan Adit langsung diam sambil jalan-jalan untuk kemudian membersihkan barang.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang