12. Pedih

47 12 0
                                    

"Febi, jangan malu-malu." Nesya berlari kecil menyusul Febi. " Cowok sekarang, kalau kita gak ungkapin perasaan duluan, dia gak bakalan peka."

"Udah, diem!" Febi beralih ke sebuah toko kelontong.

"Tapi, Feb. Kamu harus berani bilang." Nesya memilih sabun mandi yang wangi. "Cinta itu kayak sabun, ada sesaat untuk membersihkan lalu pergi meninggalkan sejuta kenangan."

Febi mengusap wajah Nesya. "Udah, gak usah ngada-ngada." Febi menyerahkan beberapa uang recehan ke Mas-mas warung dan pergi.

Udara sangat dingin, berhasil menahan beberapa orang untuk tidak berkendara. Hanya ada suara riuh pohon bambu yang bergoyang terkena angin. Febi diam sejenak. Adit masih di sana dengan pandangan kosong, tatapannya sendu.

Nesya menjitak kepala Febi. "Kalau emang suka bilang aja, susah banget sih."

"Bukan soal itu. Aku takut dia gak punya perasaan yang sama."

Nesya memutar bola matanya sebal. "Awas aja kalau habis ini curhat sambil nangis-nangis!" Lalu pergi.

Febi diam merenung. Kedua matanya menatap Adit. Benar juga kata Nesya, cinta harus diucapkan jika memang tak mau memendam perasaan. Tetapi, bagi Febi ini tentang harga diri dan ketakutan tak seperasaan. Bagaimana jika diucapkan kemudian tak dihiraukan? Pasti sakit sekali.

Matanya menutup, ia perlahan meyakinkan diri untuk mencobanya. Perlahan kakinya melangkah, bibirnya membisu. Ia hampir dekat dengan Aditm tinggal beberapa meter lagi.

"Febi!"

Suara itu membuatnya terkejut. Seseorang dengan cengiran khasnya sedang berdiri di samping. Kedua tangannya disimpan di belakangnya. Membawa apa dia?

"Rafa, ih ngagetin mulu," ketusnya. Lalu berjalan mendekat. "Kamu ngapain sih ke sini?"

Rafa bertekuk lutut. Ia menunjukan sebuah bucket bunga dan coklat batangan. Sebesit rasa mengiris muncul. Beberapa pasang mata sedang mengintai disemua sisi.

"I love you, maukah kamu menjadi bidadariku?"

Hancur sudah. Kegembiraan sesaat hilang ditelan kepahitan. Nesya yang melihat itu langsung berlari, memendam sakit di dalam hati.

"Maksudnya apa sih?" Febi berdecak kesal sambil sesekali melihat ke arah Adit.

"Aku suka sama kamu Feb," jawab Rafa. Ia mendekat dan memegang lengan Febi. "Kamu terima aku kan?"

"Lepasin!" Tangan Rafa dibanting ke sembarang arah. "Aku gak suka sama kamu."

"Ta, tapi Feb!" Rafa kembali memegang lengan Febi. "Aku udah dulu suka sama kamu."

"Lepasin!"

"Sebelum kamu terima aku, aku gak akan lepasin!"

Adit menutup kedua telinganya dengan earphone. Perlahan tubuhnya bangkit, menjunjung tinggi harapan untuk hidup di dunia yang gelap. Kakinya menggontai pelan, meninggalkan perdebatan di tengah jalan kala itu.

Febi sangat kesal. Acaranya untuk mengungkapkan perasaab terganggu oleh Rafa. Ia membanting kuat lengan Rafa.

"Aku gak suka sama kamu, maaf."

Dengan tergesa-gesa ia berlari, memutar sendi untuk menyatiki diri sendiri. Air matanya muncul perlahan, sebesit aroma kepalsuan mengiring perjalanannya. Sakit, namun saat ini ia harus menguatkan diri sendiri.

Rafa yang saat itu ditolak cintanya hanya diam seperti patung. Wajahnya tak berekpresi-penuh tekanan batin. Bahkan, bucket bunga yang dipegangnya jatuh menimpa coklat yang ia banting. Air matanya jatuh, disusul tengan teriakan kemarahan. Ia berlari, menginjak bucket dan coklat itu hingga hancur.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang