39. Salah Paham

22 6 0
                                    

   Tidak pernah disangka ternyata akan seperti ini keadaannya. Febi masih bersedih, air matanya mengalir penuh kecewa. Tangannya bertelungkup di depan dada, merasakan sakit yang tidak biasa.

   "Udah Feb," ucap Rafa sambil menenangkan. Ia merogoh sebuah tissue dari tas selempang dan memberikannya.

   Febi hanya bergeming, tak mau menerima pemberian itu.

   Rafa mengecap bibirnya bimbang. Ia meremas tissue itu dan menatap nanar ke depan. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk menerawang ke depan mempermasalahkan isi hatinya.

   Sesekali ia melihat Febi yang benar-benar patah. Tangannya bergerak hendak menyentuh Febi tapi diurungkan. Ia kembali mengecap bibirnya. Kakinya bergerak tak tentu arah, rasa ingin bicara juga sulit.

   Febi mengusap air matanya. Jiwanya masih bergejolak penuh tekanan.

   "Kamu mau ke mana?" tanya Rafa sambil menahan tangan gadis itu yang hendak pergi. "Biarin aja, bukan salah kamu."

   Febi menghela napas dalam. "Aku harus minta maaf."

   Rafa menggeleng. "Biar aku aja," katanya sambil tersenyum tipis.

   "Kamu gak akan paham." Kedua matanya menatap Rafa yang khawatir. "Turunin aku!"

   "Gak bisa Feb, kita harus pulang."

   "Tolong, sekali ini aja," ucap Febi. Nada suaranya semakin merendah seiring sesenggukan yang tidak terkontrol.

   "Jalan terus, Mas!"

   Rafa melepas tangan Febi dan berpangku tangan. Ia membiarkan Febi sibuk dengan wajah memelas dan harapan palsunya.

   Bertemu dengan orang di masa lalu memang tak akan pernah bisa membuat luka sembuh. Nyatanya, luka masih saja tersisa. Sulit memilah-milah perasaan yang layak untuk disimpan atau dibuang.

   Selepas meninggalkan dua buah tiang lampu merah, taksi itu berhenti di depan sebuah rumah minimalis dengan hiasan kayu di sampingnya. Febi turun sambil menangis lagi sedangkan Rafa bingung harus melakukan apa.

   Sebuah koper dan tas hitam itu ia jinjing di susul Febi yang hanya melangkah gontai. Beban itu sudah ia simpan di atas teras. Pandangannya teralih pada Febi yang masih berdiri dengan wajah tertunduk lesu. Ia mendekat, memegang tangan gadis itu.

   "Kamu gak usah nangis," ucapnya sembari tersenyum dan menghapus air mata Febi. "Nanti bedaknya luntur loh..."

   Febi menghempaskan tangan Rafa pelan. Ia melangkah mendahului Rafa dan duduk di dekat koper.

   "Yuk, masuk!" ajak Rafa tapi Febi hanya diam. Ia berlutut menatap wajah gadis itu kemudian memegang kedua pipinya. "Kamu jangan sering nangis, air mata kamu mahal. Gak pantas buat cowok brengsek kayak dia."

   Febi gelisah, segera menghempaskan tangan Rafa. "Kamu gak akan ngerti! Ini semua salah aku, aku yang salah! Cukup Rafa, cukup..."

   Rafa berdiri. Ia pun tak tahu harus melakukan apa sekarang. Keadaan saat ini membuatnya khawatir sekaligus bimbang harus apa. Sedangkan jika Febi bertemu, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di sana.

   Febi berdiri, ia menatap Rafa penuh tekanan. Kedua tangannya memegang erat Rafa—sedikit gemetar. "Tolong, aku mau ketemu Adit sekali lagi..."

   Rafa menggeleng, ia membuang muka ke arah lain—enggan melihat Febi. "Kamu gak usah ketemu dia lagi."

   "Aku cuma mau minta maaf," katanya sambil menggoyangkan tangan Rafa.

   "Gak bisa Feb..."

   "Aku bukan cewek lemah Raf, aku bisa urus semuanya sendiri..."

   "Aku tetap gak akan izinkan kamu buat ketemu dia!"

   "Tapi aku bisa jaga diri sendiri, Adit gak mungkin ngelakuin yang nggak-nggak."

   "Cukup Feb, aku gak akan izinkan kamu ketemu dia."

   "Kenapa Rafa! Kenapa?"

   "Karena aku sayang kamu."

   Mendengar itu Febi langsung diam. Tubuhnya terhempas tanpa semangat ke atas teras. Bahunya menyender pada pilar rumah. Menyatukan batin yang terguncang dengan beton.

   "Maaf," lirih Rafa kemudian beringsut dan pergi menaiki angkutan umum.

   Febi kembali menangis. Ia tidak bisa membunyembunyikan luka yang sangat dalam. Sekarang, masalah semakin bertambah dengan Rafa yang mencintainya secara tulus. Harus apa? Jika memang cinta tak bisa dipaksa, kenapa harus disakiti kemudian dicintai?

   Rafa mendesah pelan. Tangannya mengepal kuat, penuh emosi dan dendam. Beberapa orang yang naik angkutan sama itu menjaga jarak. Seorang ibu dengan anak kecil di sampingnya sangat segan dan tak berani dekat-dekat dengan Rafa.

   "Kenapa kamu masih sayang sama dia... Padahal kamu bukan siapa-siapa dia!" batinnya marah.

   Amarahnya semakin memuncak tat kala hanya ada satu orang gadis di dalam angkutan umum. Gadis itu duduk di pojokan sambil memainkan ponsel. Matanya berulang kali menatap Rafa, takut kalau laki-laki itu akan menerkamnya.

   "Kiri!" ucap Rafa membuat gadis itu lega. Ia memberikan selembar uang pada sopir dan berjalan dengan pandangan elang.

   Kedua matanya menyorot setiap sudut jalanan. Seseorang yang ia cari tidak ada di sana.

   "Anjing!" katanya pelan.

   Kepalannya semakin kuat. Langkahnya berat, penuh api membara. Mata elangnya sensitif dengan pergerakan kecil. Hingga akhirnya ia tersenyum simpul setelah mendapati orang yang dicari sedang duduk di warung Atin.

   Ia melangkah penuh nafsu. Semakin dekat langkahnya menjadi cepat, lalu menghempaskan pukulan tajam ke hidung mancung—meleset, malah mengenai telinganya.

   "Anjing lo! Bangun!" cercanya sambil menarik kerah baju Adit.

   Orang-orang yang tidak tahu apa-apa langsung panik termasuk Atin yang rela meninggalkan gorengan pisangnya gosong untuk menyaksikan keributan itu.

   "Kenapa?" tanya Adit sambil terkekeh.

Bugh!

   Pukulan itu tepat mengenai perut Adit. Atin berlari terpontang-panting memisahkan keduanya. Adit masih saja meledek dengan senyumannya. Ia berusaha berdiri tapi sangat sulit. Wajahnya memerah, telinganya mengucur darah.

   Adit bangkit dengan ringisan di wajahnya. Ia menatap Rafa yang sedang penuh api membara.

   "Lo cowok biadab!" cerca Rafa lagi.

   "Hm?" Adit duduk dengan santai. Mengabaikan Rafa yang sedang diburu amarah. "Katakan saja, mau apa kamu ke sini."

   Rafa lagi-lagi tersulut emosi. Ia hendak menonjok Adit tapi ditahan Atin.

   "Kenapa gak lo maafin dia!"

   Adit menatap mata Rafa yang memerah. "Saya? Tidak peduli."

   Ucapan itu membuat Rafa semakin marah. Tetapi pergerakannya dihalau oleh Atin yang mempunyai badan besar.

   "Bantuin atuh kalian teh malang ngeliatin!" titah Atin membuat ketiga pemuda yang saat itu diam menyaksikannya.

   "Anjing!" Rafa menjitak kepala Adit. "Ini belum selesai," ancamnya kemudian pergi menghentakkan setiap amarah dalam langkahnya.

   "Aden berdarah, saya ambilkan obat merah ya?" ucap Atin terburu-buru.

   Adit mengangkat tangannya, sebelahnya lagi menahan agar darah tidak masuk ke dalam telinga. "Jangan, nanti juga kering sendiri." Ia merogoh saku celananya dan memberikan uang recahan pada Atin.

   Langkahnya menggontai pelan. Masih terasa sentuhan gemetar Atin dan ketiga pemuda yang nongkrong di sana. Tentang luka itu masih tak seberapa dibandingkan dengan luka hatinya yang sudah bertahun-tahun. Setidaknya ini impas untuk luka di masa lalu.

   "Saya tidak bodoh," batinnya.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang