Di hari itu, detik itu dan malam itu, Febi pertama kali menebarkan senyum tipisnya setelah dari kemarin bersedih. Rafa membelai rambut gadis itu pelan. Tampak rona kebahagiaan yang berhasil menutupi rasa sakit hati. Mereka perlahan bangkit, lalu saling tatap.
"Makasih ya," ucap Febi kemudian memeluk Rafa.
Rafa tersenyum sambil mengangguk. Mau bagaimana pun hatinya tetap merasakan sakit. Ia harus sebisa mungkin menahan luka agar tidak membesar.
"Kita pulang sekarang?" tanyanya sambil melepas pelukan Febi.
Febi mengangkat wajahnya pelan. "Sotonya?"
"Dibungkus aja."
Lagi-lagi senyum keduanya berhasil membuat nuansa monolog yang baru. Sekejap Rafa memutar otaknya, memastikan hatinya kuat untuk menerima kenyataan atau tidak. Yang pasti, akankah Adit dan Febi bersatu lagi atau malah menciptakan kesedihan yang baru?
☔PATAH HATI💔☔
Pagi itu cuaca sangat tidak bersahabat. Awan hitam berhasil menguasai langit di sebagian kota bandung, tetapi belum nampak tetesan hujan. Dengan terburu-buru Rafa berjalan menuju terminal Leuwipanjang. Ia segera masuk ke dalam bus dan duduk dengan tenang di kursi belakang.
Baru saja bus berjalan, hujan sudah mulai turun. Rinainya tak dapat dihentikan—deras sekali hampir membanjiri kota. Ia menuduk, tangannya diremas, kakinya bergetar beberapa kali untuk meluapkan rasa gelisah.
Di dalam bus itu terasa dingin sekali, suhunya hampir minus, akibat AC berhasil membolak-balikan udara. Tetapi, tidak dengan Rafa. Ia malah kepanasan karena rencana dan tujuannya sendiri. Berulang kali gelombang jalanan menyadarkan, tetapi tetap saja ia bimbang.
Selepas bus itu berhenti di sebuah halte, ia berlari dengan cepat menahan hujan di atas kepala dengan jaket. Sepatunya berkecamuk menyipratkan genangan air. Hingga sampailah ia, berhenti dan menatap warung Atin.
Atin yang melihat kedatangan Rafa langsung sibuk memotong cabai. Wajah laki-laki yang penuh dengan air itu menyapanya, mempertemukan dua wajah yang berbeda.
"Di mana rumah laki-laki yang waktu itu gue tonjok?" tanyanya membuat Atin tersentak kaget.
Atin menyimpan pisau yang dipegangnya. "Lu-lurus aja dari sini. Nanti ada gang, masuk ke situ. Rumahnya yang ada di sebelah kanan gang."
Rafa mengangguk lalu kembali berlari sambil menahan hujan di atas kepala. Ia mengikuti arahan Atin, menempuh perjalanan lurus, melewati beberapa lampu merah tapi tidak ada jalan gang.
"Sial!" gumamnya. Ia melepas jaket dan membantingnya ke atas batu-bata.
"Hm!"
Suara itu membuat ia menoleh perlahan. Bayangan pria itu membuat emosinya memuncak.
"Kok hujan-hujanan, gak pake payung?" tanya Adit sambil menyetuh payung di kepalanya.
Rafa mengepalkan kedua tangannya, emosinya memuncak saat diledek Adit. Tetapi ia kembali sadar dan berusaha bersikap tenang.
"Gue mau ngomong sesuatu yang penting sama lo!"
Adit berdeham. "Apa?"
"Gue..." Ia menggantung ucapannya. Antara gugup, gengsi dan resah membuat bicaranya menjadi terbata-bata. Wajah yang penuh air hujan ia usap. "Gue mau lo ketemu sama Febi!"
Adit melepas payung yang mengikat kepalanya. "Saya kasihan lihat kamu kehujanan gini." Ia menyodorkan payung kepala itu pada Rafa. "Ambil! Saya ikhlas."
Rafa hanya diam. Tangannya kembali mengepal tapi tak lama langsung dibiasakan. "Gue gak butuh!" ucapnya lalu menghempaskan payung kepala itu ke jalanan dan telindas mobil yang melintas.
Adit yang melihatnya hanya pasrah. Payung pemberian dari Puspa telah rusak dilindas kendaraan roda empat. Ia mendengus kesal. Berpangku tangan sambil menatap Rafa. "Apa perlu saya ulangi?"
Rafa menaikan sebelah alisnya. "Gak usah banyak bacot! Gue mau lo ketemu sama Febi.
"Kamu minta saya buat ketemu Febi?" Adit terkekeh. "Saya tidak akan pernah bertemu dia." Ia berbalik, hendak pergi.
"Gue gak tahu harus ngapain lagi, tapi gue mohon..." Rafa bergerak, berlari ke hadapan Adit dan bersujud di depannya. "Dia sampai mau bunuh diri."
Adit hanya diam. Ia bergerak sedikit menjauh sebelum akhirnya pergi meninggalkan Rafa.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan memaafkannya," ucapnya yang berhasil membuat Rafa menonjok batu-bata.
Sesal dihatinya kian memuncak saat mendengar penolakan untuk bertemu. Dalam derai hujan itu ia menangis, baru pertama kali ini ia menangis. Menyesal karena tidak bisa menepati janji. Apa yang harus dilakukan jika Febi tahu bahwa Adit tidak ingin bertemu dengannya. Rafa sangat menyayangkan hal itu.
"Bangun!"
Suara itu membuat Rafa tertegun. Samar-samar wajah datar Adit membangkitkan semangatnya.
"Baiklah, saya akan bertemu Febi."
Rafa langsung berdiri dan memeluk Adit dengan penuh bahagia. Ia melepas pelukannya kemudian menggoyangkan tubuh Adit. "Terimakasih!" ucapnya penuh haru.
"Tapi, ada syaratnya."
Balasan itu membuat Rafa diam tanpa suara. Ia hanya diam, berusaha menajamkan pengendengarannya.
"Setelah saya bertemu dia, kalian pergi dari sini dan tidak usah kembali."
Rafa mengangguk sambil sesenggukan. Ia kembali memeluk Adit dan melepasnya. "Oke, gue janji! Sekarang, lo ikut gue!"
Setelah pertemuan itu, Rafa menjadi bahagia sekali. Ia tidak sabar mengatakan kabar bahagia ini kepada Febi. Di dalam angkutan kota berwarna kuning itu sangat sepi sekali. Dua penumpang yang ada hanya saling diam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bahkan, selepas angkutan itu menurunkan keduanya, hanya Rafa yang berbicara dan menyuruh Adit untuk mengikutinya.
"Lo masuk aja ke dalam, gue tunggu di luar," ucapnya kemudian beringsut dan pergi.
Adit menghela napas panjang. Ia tidak percaya akan melakukan ini, tetapi tidak ada jalan lain. Perlahan kakinya melangkah. Gagang pintu ia buka pelan. Seorang gadis sedang menangkupkan tangan di depan dada langsung berlari dan jatuh dalam pelukan. Ia menangis, membiarkan tubuhnya merapat ke kedinginan.
"Aku, minta maaf," katanya pelan.
Adit bergeming. Membalas pelukan saja ia tidak bisa. Hanya menatap kosong ke depan membiarkan Febi memeluknya terus.
"Lepaskan!" titahnya pelan.
Febi merubah ekpresinya. Ia melepas pelukan itu dan menatap wajah Adit. "Kamu masih marah?"
Lagi-lagi Adit bergeming. Ia dapat melihat begitu banyak harapan di mata Febi.
"Saya memaafkan kamu," ucapnya kemudian berbalik hendak pergi.
"Tunggu!" Febi mendekat, menatap punggung lelaki itu. "Aku sayang sama Kak Adit, aku minta maaf."
"Saya sudah memaafkan kamu."
"Tapi... Kalau kita balikan gimana?" ujarnya. "Aku-aku gak akan ulangi kesalahan itu."
Adit berdecih. Ia segera pergi tapi dihentikan oleh suara melengking dari dalam rumah.
"Aku mohon... Jangan tinggalin aku lagi!" Febi memegang lengan Adit dengan kuat. "Aku sayang sama kamu, Kak Adit." Tubuhnya bergerak memeluk Adit, membuat Rafa merasa sakit hati dan melengos pergi.
"Pergilah, saya sudah tidak membutuhkanmu." Adit melepas tangan Febi dan berjalan santai di derasnya air hujan.
Tangis di wajah gadis itu kembali turun. Jiwanya melemas, membuatnya terjatuh di atas teras tanpa pertolongan. Kedua matanya masih asyik menatap Adit yang hilang ditelan angkutan umum. Ia menangis, lagi-lagi terluka atas tindakannya sendiri.
☔PATAH H💔TI☔
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Ficção AdolescenteBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...