"Assalamualaikum," ucapnya pelan bersamaan dengan kecupan yang diberikan pada tangan sang Ibu.
"Waalaikumusalam," balasnya sembari mengelus puncak kepala Adit. "Kenapa baju kamu basah gini?"
"Tadi kehujanan di jalan Bu," jawabnya bohong.
"Oh, ganti baju gih! Nanti masuk angin."
"Iya, Bu."
Adit berlalu masuk ke dalam rumah. Ibunya kembali menjahit, menikmati udara dingin dan rintikan irama hujan yang turun. Inilah yang dilakukannya setiap hari ketika mengisi waktu luang. Menjahit pakaian yang sobek atau menjahitkan punya orang.
Rumah Adit memang tidak bagus. Sederhana asalkan mampu melindungi dari panas, hujan dan badai. Rumah itu berdiri beberapa tahun dan masih tetap sama. Namun, yang selalu membuat rumah itu terasa seperti istana adalah sikap mereka yang selalu menghargai apa yang Tuhan berikan.
"Bu, Ceu Mimin telepon!" teriak Adit sembari menatap layar ponsel ibunya.
Wanita itu menghentikan sejenak kegiatannya. Ia beranjak dari kursi depan dan mengambil ponsel yang Adit pegang.
"Hallo Ceu?" sapa Mimin dari sebrang sana.
"Ini Ceu, ada apa?"
"Tadi ada yang nawarin baskom 25 ribuan satu. Mau beli gak, Ceu? Sekalian saya mau ke Supermarket, mau beli alat cukur."
Wanita itu terkekeh. "Kalau 25 ribu satu, mahal. Nggak, Ceu, mendingan beli di si Engkos. Murah, cuman 10 ribu dapat dua."
"Bisa beli satu gak, Ceu di si Engkos? Kalau bisa saya mau beli."
"Ya gak bisa atuh, Ceu. Kan, harganya udah tetap 10 ribu dua. Bukan 5 ribu satu."
"Yang jualan si Engkos apa kamu?"
"Si Engkos lah, Ceu. Masa saya."
"Saya butuhnya satu, bukan dua."
"Beli dua aja Ceu, buat saya satu buat Ceu Mimin satu."
"Itu mah kamu yang untung."
Wanita itu tertawa gelak. "Udah dulu ya, Ceu, saya mau lanjut ngejahit."
"Saya juga lagi masak ikan. Untung gak gosong lagi."
Pembicaraan pun berakhir. Wanita itu menyimpan ponselnya di atas meja. Menatap ke sebelah kiri tempat Adit berdiri tapi laki-laki itu telah pergi. Ia menggelengkan kepala, melihat sikap Adit yang tiba-tiba menghilang memang sudah biasa. Tidak mengherankan jika laki-laki itu ada di depan, belakang atau bahkan di atas, itu sudah lumrah. Adit bisa muncul kapan saja jika ia mau.
Kain yang belum selesai kembali duduk di pangkuannya. Derai air hujan yang mebasahi kota Bandung masih berlanjut hingga pukul lima sore. Tidak ada cahaya senja atau burung walet yang terbang membentuk barikade perang. Hujan kali ini tampak membawa kesedihan yang dalam.
Adit sudah selesai membersihkan diri. Ia berjalan pelan masuk ke dalam kamarnya. Handuk yang hanya menutupi sebagian tubuh membuat badannya yang Atletis terlihat dengan jelas. Dadanya yang bidang tidak tertutup kain sedikitpun. Inilah pemandangan yang wanita suka, tetapi Adit tidak menyukainya. Ia tidak terlalu menginginkan tubuh Atletis atau dada yang bidang. Semua itu alami terbentuk karena ia sering berolahraga.
Kaos hitam dan celana jeans yang Adit pakai terlihat sangat cocok. Ia berjalan ke luar kamar, mengecek sebentar ponselnya yang penuh dengan notifikasi kemudian mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...