"Sekarang, kita mulai ujiannya!" Pria tua itu membuka sebuah amplop yang di dalamnya ada beberapa soal panjang. "Saya harap, kalian mengisi dengan jujur. Lulus tidak lulus, itu soal belakangan. Yang penting, jujur."
Beberapa siswa dan siswi yang telah mendapatkan soal segera menyiapkan alat tulis di atas meja. Tas mereka simpan di sisi kaki meja yang kecilnya hanya beberapa senti. Sedetik kemudian, pria itu kembali berbicara. Melatih lidah untuk mengucapkan wejangan.
"Mulai!" ucapnya membuat semua murid di kelas itu senyap dan sibuk mengerjakan soal.
Tatapan mata cokelatnya mengedar ke seluruh ruangan. Napasnya menderu, siap memburu. Kulit keriput kayu itu bergerak saat melihat Sandi mengacak-acak rambutnya sendiri. Lantas tersenyum, kemudian menunduk menertawakan.
"Yang jujur, serius," katanya.
Hampir sudah lebih dari tiga puluh menit semua murid di ruangan itu hanya diam. Ada yang mengomel pelan, mengacak-acak rambut bahkan yang mengupil pun ada. Lalu ditempelkan di lembar soal.
Detik-detik menuju akhir telah tiba. Hanya tersisa beberapa menit lagi untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Sesuatu yang selalu menghantui secara diam-diam kini datang silih berganti menguncangkan dunia per-otakan.
"Selesai."
Rona marah, kecewa dan ambisius terlihat di sana. Banyak yang mengeluh-meminta menambah waktu karena belum selesai. Ada juga yang tersenyum sambil mengangkat tangan. Sedangkan Adit, hanya diam. Menunduk penuh lesu tanpa berharap satupun.
"Pengumumannya nanti jam 3 sore," ucap Pria tua itu sambil merapikan kembali soal ke dalam amplop. "Silahkan tunggu intruksi berikutnya dari kepala sekolah." Lalu ia pergi meninggalkan kelas yang mulai ricuh.
"Aduh... Gimana nih?" kata siswa berkamata di samping tembok.
"Gak papa, masih ada remedial," jawab temannya.
"Soal nomor 5 susah anjir!" celetuk Rafi kepada Wirman.
"Masih mending ujian daripada cewek yang gue pacarin," balasnya sambil menyimpan pulpen di dalam saku celana.
"Salah lu macarin anak polisi." Sandi ikut menyergah. Kemudian mengambil tas dan merapikan semua keperluannya. "Dit, kantin gak?"
Adit yang baru saja selesai membersihkan pikirannya mengangguk. Mereka berempat lantas pergi, kemudian masuk ke dalam kawasan keramaian.
Sandi tersenyum tengil pada gadis-gadis yang ia temui. Respon yang diberikan ternyata tidak sesuai harapan. Gadis itu malah menatapnya jijik, bahkan ada yang berani menampar ketika hendak Sandi sentuh. Hal itu membuat kedua temannya tertawa. Adit? Dia diam seperti patung-bisu.
"Kasian," cemooh Wirman.
Sandi menjitak kepala Wirman. "Euh... Lo!"
"Gue kasih tau ya, deketin cewek itu gak usah ribet. Cukup datang ke rumahnya, deketin aja nyokapnya," ujar Rafi.
"Sesat, gak mau gue gitu. Nanti kalau nyokapnya nyaman sama gue gimana? Masa iya gue pacaran sama ibu-ibu," balas Sandi menimbulkan responsif aneh dari kedua temannya.
"Salah, nih!" Wirman menepuk pundak Adit. "Cukup dingin di mata cewek bisa bikin baper. Kan, Dit?" Alisnya naik turun.
"Gak juga."
Jawaban itu cukup membuat hening seketika sebelum akhirnya tawa kembali terdengar. Mengejek atau bercanda bersama Adit itu tidak asyik, tidak ada nuansanya. Pemuda itu terlalu cuek, bahkan diberi hiburan pun dia akan diam membisu. Seperti tidak punya tujuan hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Teen FictionBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...