29. Keputusan Untuk Berpisah

26 8 2
                                    

     "Makan dulu, jangan banyak bercanda," ujar Sandi sambil mendorong pelan sepiring nasi kepada Adit.

     "Gue mau anter Neta pulang, nanti ke sini lagi." Wirman berdiri lalu menyalami temannya satu persatu dan pergi.

     Tinggal kesunyian. Hanya suara ‘ting’ sendok stainless yang beradu dengan piring keramik. Mereka diam tanpa sepatah kata apapun.

     "Wirman, udah punya calon istri. Kost ini bakalan sepi, pondasinya runtuh satu-satu." Sandi kembali memasukan sesuap nasi.

     "Namanya juga masa depan, gak akan ada yang sesuai harapan," balas Rafi.

     Adit memainkan sendoknya seperti anak kecil. Ia menatap kedua temannya dengan pandangan lesu. "Perpisahan hanya sementara, itu akan kembali lagi kepada kita."

     "Caranya?" tanya Sandi.

     Adit hanya diam lantas memakan nasi dan sayur yang disediakan. Mereka sibuk membuat sendok menari di atas piring. Namun pikirannya sedang melayang mencari dahan untuk dihinggapi. Ke mana kah mereka harus pergi setelah benar-benar berpisah.

     Ponsel di sampingnya kembali menyala. Adit melihat siapa yang mengirim pesan itu. Ternyata masih sama, orang yang tidak ingin ia ladeni. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di sana. Pesan dari nomor tidak dikenal yang sedang ia tabung sudah dibuka.

     "Kenapa, Dit. Disuruh pulang cepetan ya?" tanya Sandi—biasa, memanipulasi keadaan.

     Adit tidak menjawab. Ia segera membukanya dan melihat pesan itu. Kata demi kata yang disorot matanya menjadikan diri saat itu seperti sedang sempurna. Ia menyimpan sendoknya lalu mengetik dengan santai.

      Dengan sekali tekan ia mengirim pesan itu yang ternyata hanya centang satu. Tidak peduli, hormat saja pada kepercayaan diri. Saat ini ia kembali melanjutkan makan dan acuh pada pesan yang telah dibuka. Mungkin, terbuka selagi saya sedang di bis tadi, batinnya.

     Terserah yang mana saja. Mau dibaca, dibalas ataupun tidak itu urusan belakangan. Yang terpenting ia sudah menjalankan prinsipnya untuk tidak meladeni orang asing.

     "Maaf, saya harus beli obat buat Ibu," katanya mengundang anggukan Sandi dan Rafi.

     "Hati-hati!" Sandi berteriak ketika Adit sudah mencapai pintu. "Kalau ada belokan lurus aja."

     "Apaan dah lo gendut, bercanda mulu," ketus Rafi.

     Adit segera berlari kecil. Ia terburu-buru mengejar jam tutup apotek langgangan. Sandi dan Rafi mengucapkan syukur karena Adit tidak marah. Mereka mengelus dada penuh lega.

     "Untung gak ketahuan," ucap Rafi.

     Sandi tertawa kecil. "Apa-apa juga masih ada untungnya."

     "Tapi, itu siapa? Banyak chat dari nomor gak dikenal." Rafi menyimpan piring yang dipegangnya dan duduk di sebelah Sandi. "Jangan bilang, lo kasih nomor dia ke sembarang orang!?"

     Sandi menggaruk kepalanya yang sedikit berketombe. "So, sory..."

     Rafi menepuk jidat. "Kalau dia tahu gimana?"

     Sandi tersenyum menyeringgai. "Gue sengaja, biar dia bisa dapat pacar."

     Percakapan di kost kecil pinggir ibu kota berakhir. Kini beralih pada Adit yang sedang berjalan terburu-buru. Ia tidak lagi berlari, berjalan saja sudah cukup membuat sebagian celana katun basah terkena cipratan air.

     Ia menghampiri apotek kecil di pinggir jalan. Saling menukar senyum dengan pegawai yang cantik.

     "Mau beli apa?" tanya wanita cantik itu.

     "Obat sakit kepala."

     "Tunggu sebentar ya!"

     Matanya tajam menatap wanita itu. Saat ia melihat wajahnya, langsung berpaling dan menatap benda lain.

     "Ini obatnya."

     "Berapa?"

     "20 ribu aja."

     Percakapan tidak penting itu berakhir dengan tukaran uang. Dalam langkahnya ia membatin—terus memikirkan kenapa ia bisa begitu payah dalam soal percintaan. Benci atau dendam semua sama saja hasilnya, menyakitkan.

     Tak pernah terpikir kalau pertemuan saat itu adalah palsu dan bukan untuk selamanya. Menyesal sudah pasti, tapi apa daya dia telah dibohongi dan dijadikan batu pijakan yang tak berharga.

     "Kenapa kamu masih menghubungiku?" batinnya.

     Ia menapak pada jalan becek dan sempit. Sudah setiap hari ia melewati jalanan yang kumuh itu. Seperti saat ini, hanya gelisah yang menemani hidupnya.

     "Assalamualaikum," ucapnya menyambut kedatangan Ibu.

     Wanita yang biasa menyapanya kini tidak hadir. Ia panik, lekas melepas sepatu dan berlari ke dalam rumah. Kosong, tidak ada aroma masakan atau nyanyian dari Sang Ibu. Ternyata;

     "Ibu?"

     Ia berlari masuk ke dalam kamar dan duduk di sampingnya. Kening keriput itu ia raba-raba, hangat.

     "Sakit, ini saya bawakan obat," katanya sembari menunjukan kantung keresek kecil yang dipegang.

     Ia bergegas mengambil air hangat. Teh saja rasanya sudah cukup untuk melarutkan obat ke dalam perut. Ia kembali duduk di samping ibu. Mengambil obat lalu membantu ibunya bangun.

     Ibu menerima gelas teh hangat yang diberikan Adit lalu meminum obatnya. Setelah itu, tertidur lagi. Adit menatapnya penuh ke khawatiran. Ia menutupi seluruh tubuh ibunya dengan selimut kemudian berjalan ke luar dan duduk di sofa.

     Ponselnya bergetar lagi. Notifikasi dari orang yang sama masih saja membanjiri ruang chat yang tak pernah dibalas. Ia membukanya, beragam emotikon memelas penuh misteri ada di sana.

Adit, gue mau datang ke sana. Lo siapkan diri baik-baik ya, gue minta maaf.


     Adit mematikan ponselnya. Matanya menutup, tubuhnya menyender pada sofa. Pesan yang dikirimkan itu terlalu membuatnya risih. Sedikit membuat hati tak karuan. Ingin bilang tidak mau bertemu, tidak enak. Ingin bilang mau bertemu, sudi melihat wajahnya yang bermuka dua.

     Tak habis pikir. Cinta bisa membuat segalanya berubah. Hati, pikiran bahkan masa depan semua dikendalikan oleh cinta. Selarasnya hidup, memang tak pernah sempurna. Sekalipun itu cinta, tetap ada batasannya.

     Ia membuka ponselnya kembali. Memunculkan papan keyword masih di room chat yang sama. Satu huruf, dua, tiga kemudian dihapus lagi. Bimbang, hilang effort untuk si pengirim.

     Adit menghela napas yang terasa berat. Ia menekan tombol kembali untuk membuka pesan yang lain. Sepertinya, Febi tidak peduli dengan Adit. Pesannya tidak dibuka, bahkan ceklis dua saja tidak.

     Ia memunculkan papan keyword, lalu menulis sebuah kalimat singkat yang pasti akan menusuk jika dibaca. Setelah itu, ia kembali mematikan ponselnya dan duduk sambil melemaskan otot yang mengencang.

     Tentang sakit hati atau tidak, itu urusan belakangan. Timbal balik dari semuanya tetap saja sama—sia-sia. Membalas pesan saja rasanya berat, karena ia terlalu pasif untuk berbicara dengan orang lain. Jika dipaksa, akan sangat terluka karena telah membodohi diri sendiri.

     "Semoga, tidak apa-apa," batinnya.

     Ia bergegas masuk ke dalam kamar dan menyimpan ponselnya di atas nakas. Handuk yang digantung pada kapstok kayu ia bawa, lantas pergi meninggalkan ponsel yang menyala.

     Sebuah nama, tentang masa lalunya. Aktif menelepon setiap jam, hanya sekedar untuk meminta maaf. Namun, Adit sudah tidak peduli, tidak mau patah hati lagi. Itu semua sudah tujuannya, tidak bisa diganggu gugat.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang