44. Dijamah Kenangan

15 3 0
                                    

   Hujan di Kota Bandung masih saya bergerimis. Kebetulan sekali ada yang memutar lagu Gerimis Mengundang saat Adit sedang berjalan santai di dekat rumah putih itu.

   Seorang pemuda dengan langkah rocker melangkah penuh drama di dalam rumahnya. Adit hanya tertawa dalam hati saja terus berjalan hingga akhirnya berhenti di depan rumah Puspa.

   "Tumben gak kelihatan," batinnya.

   Dengan ragu, ia masuk ke dalam pekarangan rumah itu. Walaupun tidak sopan, tetapi ia penasaran kenapa Puspa tidak terlihat. Biasanya gadis itu suka duduk sambil makan roti di luar. Kali ini tidak biasanya dia hilang.

   Matanya tertuju ke lantai atas. Puspa, itu tidak salah. Ia sedang berjoget penuh keceriaan kemudian tertawa lagi.

   Setelah melihat Puspa, Adit merasa lega. Ternyata gadis itu baik-baik saja dan masih ceria. Dengan cepat, ia segera pergi. Namun, suara cempreng dan melengking berhasil membuat langkahnya terhenti.

   "Adit! Ngapain lo hujan-hujanan? Gak ada kerjaan banget sih!" ketus cewek itu dari balik jendela rumahnya yang telah dibuka.

   Dengan terburu-buru Puspa mengambil handuk yang digantung di depan pintu kamar dan menuruni tangga. Ia geleng-geleng kepala melihat Adit, lalu menarik pria itu untuk meneduh.

   "Lo ngapain sih hujan-hujanan, mau sakit?" katanya sambil memasangkan handuk ke Adit. "Kalau lo sakit gue mah bodo amat, tapi mikir dikit. Ibu lo udah tua, jangan sampai lo nyusahin dia."

   Adit memandang Puspa dengan datar. Baru pertama kali gadis itu berkata sedewasa ini. Sebenarnya apa yang terjadi?

   "Kamu kenapa?" kata Adit pelan. Malah dipelototi Puspa.

   "Gue gak papa, tapi kenapa lo malah hujan-hujanan?"

   "Kehujanan bukan hujan-hujanan."

   "Sama aja." Puspa mengambil alih tangan Adit dan menggosokan handuk ke kepala lelaki itu. "Basah banget ih! Handuk gue jadi berat."

   "Salah kamu sendiri."

   Puspa berdecak. "Kalau gue gak peduli sama lo, gue pasti udah usir lo dari tadi." Puspa menarik handuk itu dengan sebal. "Nyebelin! Ditolong bukannya makasih malah ngomel-ngomel."

   Adit menggeleng. Ia duduk di kursi yang biasa orangtua Puspa duduki. "Kamu gak trauma? Udah jatuh di panggung masih aja joget-joget di kamar."

   Puspa memutar bola matanya lalu duduk di samping Adit. "Gue bosen, ya udah gue joget aja."

   "Gak ada hal lain selain joget?"

   Puspa diam sejenak. Lau berkata, "Gak ada." Puspa berdiri, menunjuk ke arah Adit. "Lo tunggu di sini! Awas aja kalau pergi." Lalu membawa pergi handuknya dan masuk ke dalam.

   Baru saja telinganya sedikit tenang, kini penuh dengan kicauan sang burung gagak. Hujan pun masih saja mendera, tidak pernah berhenti meskipun sudah ditunggu untuk mereda.

   "Nih!" Puspa memberikan kebab hangat yang ia bawa. "Lo lupa? Pake ditinggalin segala." Kembali duduk di samping Adit dengan kedua kaki yang menyilang. "Makan! Udah gue angetin tadi."

   Adit tersenyum kecil. Ia segera mengambil dan membelah dua kebab itu. "Kamu mau?" tawarnya tapi Puspa menggeleng.

   "Buat lo aja."

   "Gak papa, saya ikhlas."

   "Gak usah maksa deh..."

   "Saya maksa."

   "Ya ampun..." Puspa mendelik. "Gue maunya disuapin sama lo."

   Adit langsung kaget. Ia simpan kebab itu di atas meja. "Punya tangan sendiri kan?"

   "Gue mau makan kalau lo yang nyuapin!"

   "Gak usah manja."

   "Kok, jadi gue sih...?"

   "Kamu mau makan atau gak?"

   Puspa menelan ludahnya kasar. Sebenarnya ia lapar, tapi ingin diperhatikan oleh Adit.

   "Lapar banget..." celetuk Puspa setelah melihat Adit menggigit kebab itu.

   "Tinggal makan satu lagi, udah saya pisahkan."

   "Tapi, gue maunya disuapin!"

   "Gak usah manja."

   "Nyebelin! Tadi katanya maksa, tapi pas gue minta disuapin gak boleh. Gimana sih?"

   "Hm.."

   "Kenapa hm, hm? Mau nyanyi?"

   "Boleh."

   "Ih...!" Puspa berdiri lalu berkacak pinggang. Wajahnya mendekat ke arah Adit, hanya menyisakan beberapa centi saja. "LO KENAPA GAK..."

   "Maaf," kata Adit sambil tersenyum mesem-mesem setelah berhasil memasukan satu suap kebab ke mulut Puspa.

   Puspa merengek seperti anak kecil. Tubuhnya terjatuh ke atas teras rumah. "Lo jahat!"

   Gadis itu menangis tanpa air mata. Cengeng sekali, tetapi itulah Puspa. Jika didekat Adit sifat kekanak-kanakannya tidak pernah hilang.

   "Tadi katanya pengin disuapin, kok, malah nangis?" iba Adit. Ia berdiri lalu duduk di samping Puspa.

   "Tapi gak gini juga!" ucap Puspa sambil mengunyah. "Malu banget tapi enak," batinnya. "Udah ah! Gue males sama lo." Puspa berdiri tapi langsung ditahan Adit.

   "Maaf," katanya sekali lagi.

   Puspa hanya menggeram. Ia hendak pergi tapi Adit menahannya lagi. "Lo ngapain sih halangin gue!?"

   "Saya gak halangin kamu."

   Puspa melirik ke belakang. Ternyata bajunya tersangkut kursi. Tangisnya malah semakin menjadi-jadi. Ia kesal dengan Adit kemudian pergi masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan keras.

   "Lucu," ucap Adit sambil tertawa kecil.

   Ia bangkit, memakan kebab itu lagi dan membawanya pergi. Perasaanya sedikit tenang saat berhasil membuat Puspa tenang. Tentang tangisan, ia tidak terlalu peduli karena gadis itu akan baik-baik saja.

   "Besok pasti sudah manja lagi," gumamnya pelan.

   Sore itu cuaca masih mendung. Gerimis yang membasahi kota Bandung mulai mereda. Adit segera baik ke dalam bus yang ia tunggu sebelumnya. Pakainnya sedikit basah, tidak seperti sebelumnya.

   Pemandangan kota Bandung yang basah mulai dipadati dengan kendaraan. Seorang wanita pengemis di lampu merah yang membawa balita membuat ia ingat waktu pertama kali bertemu Febi secara langsung.

   Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskan penuh emosi. Bus kembali berjalan, menurunkannya di lampu merah ke dua. Sama saja, sialnya ia ingat kembali pada Febi.

   Matanya tak pernah teralih pada hal lain. Hanya sebuah kursi dan kedai kopi di depannya yang mengingatkan ia akan kisah perjumpaan dengan gadis baru yang aneh. Yang rela mengejar dalam hujan yang deras. Meskipun diabaikan, dia tetap saja mengejar.

   Adit memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Langkahnya menunduk, merasakan betapa kejamnya waktu. Gadis yang baru ia temui, ternyata seseorang yang pernah merusak masa lalunya. Sangat sulit diterima, apalagi untuk menjadi kenyataan. Tetapi, itu sudah terjadi. Mau bagaimana pun, hati memang sulit untuk dirakit kembali.

Tid!

   Suara klaskon itu membuatnya tersadar dan segera melewati zebra cross dengan cepat. Ia melangkah, menahan rasa pedih di dalam dada. Apapun masalahnya, sekarang ia harus kembali pada sisi positif. Harus dipaksa secara terang-terangan bahwa kisahnya dibuat memang untuk sebuah siratan luka, bukan kebahagiaan.

   "Ku kira kau rumah, ternyata tempat sampah," ucapnya penuh penekanan.

   Napasnya menderu di saat langkah selanjutnya. Kehidupan yang telah lama diharapkan akan sempurna, ternyata malah amblas, menjatuhkan pengharapnya ke dalam jurang luas. Hanya gelap serta sunyi yang ditemui. Dia, harus mencari jalan keluarnya sendiri. Meskipun sakit, harus tetap berusaha tegar untuk awal yang baik.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang