20. Sebelum Luka Itu Datang

21 10 2
                                    

     Ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan dengan emotikon ceria dan menangis terpampang dengan jelas. Siapa lagi kalau bukan Puspa, ya. Gadis cerewet itu sangat senang karena bisa berpacaran bebas dengan si Arya.

     Adit tidak peduli, itu keputusan Puspa untuk memilih berpacaran dengan Arya. Matanya menutup sebantar, keringat di pelipisnya jatuh tak karuan. Ia segera memutar lagu Turki yang baru, suara penyanyi pria yang terdengar lewat earphone itu sangat merdu. Mengalun syahdu sebagai teman perjalanan.

     Lagu berjudul Nafs El Haneen milik Tamer Hosny dapat dikatakan terbaik dengan cengkok arabnya yang khas. Ditambah, cocok untuk suasana menyedihkan—seperti sekarang.

     Ia berhenti saat ponselnya kembali bergetar. Kala itu Puspa mengirimkan foto saat ia sedang makan es-krim bersama Arya. Buat apa? Gadis itu hanya menyusahkan saja.

"Setidaknya kamu telah mencoba. Walaupun, kamu belum berhasil, ya kan?

     Adit menoleh kepada gerombolan anak kecil yang sedang main game moba dengan volume keras. Ia tertunduk lesu, lalu melanjutkan kembali perjalanannya. Benar juga kata hero itu, setidaknya ia telah mencoba meskipun gagal. Untung saja saat ini ia tidak terlalu tertekan. Ada sedikit motivasi yang diberikan dan itu cukup untuk menahan Adit agar tidak putus asa.

     Ia melepas earphone dan berbelok ke gang sempit. Benar saja, wanita yang sudah berumur tiga puluh tahunan itu sedang menunggunya. Duduknya nampak tenang, tangan penuh tanggungjawab itu memegang kain yang akan dijahit. Bibirnya yang sedikit keriput tersenyum menyambut ke datangan Adit.

     "Assalamu'alaikum!"

     "Waalaikumsalam, cepet pulangnya ya." Ibu menyalami Adit. "Gimana hasilnya?" ucapnya sambil tersenyum penuh perhatian.

     Adit hanya menunduk tanpa suara. Jiwanya bergetar, malu dan takut mengucapkan apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, Buk. Saya... Gagal."

     Ibu langsung tersenyum simpul. Ia memeluk Adit dan mengelus-elus kepala putranya seperti anak kecil. "Gak papa, gagal itu normal."

     "Maaf," ucap Adit pelan kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya.

     Mentari tergelincir ke ufuk barat. Adit diam duduk di atas kasur. Ibu yang sedari tadi memanggil tidak ia jawab sama sekali. Makan pun rasanya tidak mau, bahkan berbicara saja susahnya minta ampun.

     Ia melihat foto kenangan semasa SMK yang ditempel di antara puluhan foto prestasi. Beberapa piagam merangkul foto itu secara halus. Adit tersenyum kecil. Masa-masa SMK itu tidak akan terulang kembali.

     Clik!

     Adit membuka pesan di ponselnya. Sandi menyepam dan mengabarkan untuk segera ikut party bersama. Adit langsung mematikan data ponselnya. Ia berbaring di atas kasur sambil menenangkan pikiran.

     "Den, makan dulu!" ucap Ibu yang terus-terusan mengetuk pintu.

     Adit mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap pintu kamarnya yang dikunci dari dalam. Hatinya sudah remuk, kini disayat pelan oleh harapan.

     "Nanti saya makan sendiri, Ibu jangan repot-repot."

     Dengan segera ia mengambil handuk dan keluar dari dalam kamar. Wajah Ibu yang gelisah kini berganti dengan senyuman cerah. Di kedua tangannya ada sebuah nampan yang di atasnya terletak sup dingin dan nasi.

     "Makan, yuk?"

     "Nanti saja, Buk. Saya belum lapar."

     Adit berlalu dan masuk ke kamar mandi. Ibu langsung berubah ekspresi menjadi sedih. Ia menyimpan nampan yang dibawa di atas meja lalu duduk di sofa. Kepalanya kembali sedikit pusing. Sebuah laci kecil yang di dalamnya banyak bungkus obat bekas itu ia tarik. Lalu meminum obat secara perlahan.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang