Kebisingan kota Bandung tidak lepas dari kendaraan yang dimodifikasi. Bahkan, di dalam bus ber-AC saja masih terasa panas—berdesakkan dan pengap.
Pria di samping jendela bus itu bernama Adit. Ia diam membisu, membiarkan keringatnya jatuh di bahu kiri. Tangan kanannya bersandar pada sisi kaca bus yang panas terkena sinar mentari. Pandangannya lurus ke depan, menatap ramainya jalanan ibu kota.
"Keringetan, tuh!" ucap gadis yang duduk di sebelahnya.
Adit hanya diam, pura-pura tidak mendengar. Ini bukan pertama kalinya ia bersikap acuh.
Gadis itu mengasongkan sapu tangan kecil. "Cepetan ambil!"
Seperti manusia di dalam air, ia tidak mendengarnya. Sekarang malah sibuk memasang earphone.
"Nggak usah."
Gadis itu mengulum senyumnya. Ia memasukkan sapu tangan ke dalam tas. Matanya sendu menatap Adit yang sangat dingin dan agresif.
Adit berdeham, lalu menyodorkan sebuah masker medis. Gadis itu langsung menggeleng dengan senyuman kikuk.
"Nggak mau." Ia duduk dengan tenang sembari mengatur napasnya.
Adit melepas earphone yang terpasang di telinganya. "Ambil!"
Gadis itu kembali diam. Bibirnya komat-kamit mencibir pelan. Ia segera mengambil masker itu dan memakainya.
"Makasih."
Adit kembali memasang earphone dan duduk sambil memejamkan mata. Tidak lupa, sebagai jawaban ia hanya berdeham. Bukan sombong atau bertingkah seperti orang besar. Namun, ia tidak terbiasa bicara panjang lebar dengan orang asing.
"Nah! Kalau gini, kan, ganteng," ucapnya setelah dengan sengaja melepas sebelah earphone yang dipakai Adit.
"Saya udah ganteng dari bayi."
Gadis itu cekikikan. "Jangan keseringan pake itu nanti setan bisa masuk."
Adit hanya menggeleng. Lalu memasang kembali earphone tapi dengan sengaja gadis itu malah melepasnya.
"Nama aku, Febiyanti!"
Adit menoleh. "Saya nanya?"
Gadis bernama Febi itu diam seribu bahasa. Senyumannya tergelincir di antara bias cahaya mentari sore. Ia menatap Adit kemudian kembali pada posisinya—menatap sopir yang banjir keringat.
"Aku mau pindah aja."
Adit tak bereaksi sedikitpun. Matanya tertutup seperti orang sedang tidur.
"Kakak... nggak mau ikut?" Febi menatap Adit, berharap akan mendapatkan jawaban. Namun, nyatanya malah diacuhkan.
Febi pindah ke kursi belakang. Kursi yang selama ini selalu didudukinya. Entah kenapa tiba-tiba bibirnya melukiskan senyum senja yang begitu bahagia. Melihat dan berinteraksi langsung dengan pria dingin, agresif tapi tampan membuatnya merasa nyaman.
Ia meraih sebuah catatan dan pena dari dalam tasnya, lantas menulis sesuatu pada kertas yang masih kosong. Dengan tersenyum ia menulis kata-kata indah itu. Orang-orang yang berjarak dengannya menatap aneh. Melihat gelagat Febi membuat mereka tidak mengerti bahwa ada yang sedang jatuh cinta.
Bus kota berhenti menunggu sang tiang pengatur berubah warna. Febi mengangkat wajahnya. Catatannya ia simpan kembali, lantas menatap Adit yang beranjak dari kursinya.
"Kiri!"
Ia berlari melewati beberapa penumpang yang mengalami anemia. Uang receh terlempar ke tangan kernet dan secepat mungkin berlari mengejar laki-laki yang membuatnya menemukan rumah untuk pulang.
"Kak!" teriaknya.
Adit tidak menoleh, hanya berhenti untuk menyeberang jalan kemudian melengos dengan cepat terbawa irama lagu. Dengan susah payah gadis itu mengejarnya. Tidak peduli panas ataupun keringat yang mengucur, ia tetap berlari hanya untuk satu tujuan.
"Kak!" teriaknya lagi.
Ia berhenti. Napasnya tersengal-sengal. Udara Ibu Kota yang panas membuatnya merasa cepat lelah. Ia tertunduk, membungkuk dan menghela napas dalam-dalam. Wajahnya kembali terangkat, tampak muram setelah purnama menghilang di perempatan jalan.
Di bus itu, Adit duduk dengan tenang. Duduknya seperti biasa; dekat dengan kaca agar dapat melihat situasi kota. Tangan kanannya kembali bersandar pada sisi kaca, menjemur kulit yang hampir menua.
Ia tahu, gadis di bus kota itu mengejarnya. Tetapi, tidak ada rasa peduli sedikitpun yang muncul. Perasaannya hilang terenggut masa lalu. Tidak dapat kembali, sulit untuk didapatkan.
Beberapa lagu Turki menemani suasana hatinya yang kian hari semakin memburuk. Hatinya mulai tersayat saat lagu berganti dengan 'Unutamam Seni' yang artinya; 'Aku Tidak Bisa Melupakanmu'. Sama persis dengan kisah masa lalunya. Dan ia membenci kisah itu. Namun, tetap saja lagu itu ia dengarkan.
"Kiri!"
Ia beranjak dari duduknya. Menghampiri kernet dan membayar secukupnya, kemudian turun. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Pandangannya turun, jiwanya lepas melayang tanpa tujuan.
Langit mulai mendung. Satu per satu air turun mengguyur Ibu Kota. Ia segera menepi dan menghampiri sebuah kedai di pinggir jalan.
Lagu yang terputar berhenti ketika sebuah pesan masuk. Ia membuka dan membacanya. Betapa menyakitkan sekali, perempuan itu datang dengan sejuta kepahitan. Menyepam hingga duapuluh tiga kali mengulang kata 'maaf'.
Adit langsung mematikan data ponselnya sebelum perempuan itu kembali menyepam. Ia duduk menghadap sebuah hotel bergaya art deco milik BI (Bank Indonesia)—menikmati air hujan yang turun membasahi kota. Ia menatap sekitar, berhenti pada seorang gadis yang berdiri di depan patung majalah tahun sembilan puluhan.
"Dia lagi?" gumamnya pelan.
Ia berdiri, masuk ke sebuah kedai dan menghampiri pelayan yang tengah mengambil gelas kosong dari meja pelanggan.
"Mbak, tolong antarkan satu gelas kopi expreso ke cewek yang ada di sana!" tunjuknya pada Febi yang tengah berdiri di dekat patung majalah. "Ini uangnya."
"Tunggu sebentar." Pelayan tersebut mengambil semua gelas kosong dan segera pergi.
Cukup lama Adit memandangi Febi yang sedang menggigil kedinginan. Ia tidak tersenyum, tidak pula bergerak untuk menolong. Biarkan Febi diam di sana merasakan dinginnya udara. Setidaknya, itu lebih baik daripada merasakan hati yang terluka.
"Ini kembaliannya," ucap pelayan itu kemudian pergi dengan payung plastik menghampiri Febi.
Adit kembali meraih ponselnya, membiarkan data tetap tidak menyala dan memutar lagu kesukaan untuk menemaninya berjalan menembus air hujan.
"Permisi!" Satu gelas kopi disodorkan kepada Febi.
"Hah? Saya nggak pesan apa-apa, kok." Dengan bingung Febi mendorong kopi itu.
"Lho? Tapi laki-laki yang ada di..." Pelayan tersebut berhenti karena melihat Adit sudah tidak ada.
"Di mana?" Ia mengusap pipinya yang basah terkena air hujan. "Mbak, bawa aja kopinya, mungkin itu buat orang lain."
"Dia bilang ini buat, Mbak." Mereka berdua diam sesaat. "Terima aja, saya lagi banyak kerjaan." Pelayan tersebut pergi meninggalkan Febi.
"Lho, Mbak! Ini gelasnya gimana?"
"Bawa aja!"
Febi diam sebentar. Ia mengedikan bahu lantas meminumnya perlahan. Untung juga, kan, bisa minum kopi hangat saat hujan datang, gratis pula—pikirnya.
--☔PATAH H💔TI☔--
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Ficção AdolescenteBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...