9. Masalah Untuk Febi

64 13 2
                                    

     Di bawah langit yang menangis itu ada dua makhluk hidup sedang berlari. Lebih tepatnya yang satu numpang lari. Kepalanya tertunduk, menyusul harapan untuk segera sampai di asrama.

     Tempat paling indah bagi mereka yang suka mondok, dan sebagian lagi menyatakan tempat itu sebagai penjara dan tak ingin ada di sana. Bahkan hanya untuk satu minggu saja tidak bisa. Unik bukan?

     "Kang, turunin Febi," katanya lemah.

     "Nggak papa, Dek. Biar nanti Akang jelasin semuanya sama pengurus asrama."

     Lelaki berkacamata itu berhenti di depan sebuah pagar tinggi. Tangan kanannya sibuk membanting gembok pada sisi pagar—berharap seseorang keluar dan membukakan gerbang.

     Beruntunglah mereka karena yang datang bukan si Bengis keturunan Arab. Pria berjanggut tipis dan peci biru itu menghampiri mereka. Memainkan sebentar puluhan kunci sebelum akhirnya gerbang ia buka.

     "Dari mana aja kalian?" tanyanya dengan tegas.

     Keduanya tidak menjawab, hanya saling diam untuk melindungi satu sama lain. Kali ini seseorang datang. Nasib sial menghampiri mereka. Pria berjanggut lebat dengan tatapan mata tajam sedang menuju ke arahnya. Hidung yang mancung membuatnya semakin terlihat kejam.

     "Astagfirullah!" ucapnya dari jauh.

     Febi buru-buru turun hingga terjatuh dan membuat pakaiannya sedikit kotor.

     "Duh, kamu kenapa turun!?" celoteh pria berkacamata, lalu membantu Febi duduk di teras pos penjaga.

     Pria berjanggut lebat itu berpangku tangan. Kedua matanya menyorot tajam. Ya, mereka sudah pasrah dengan apa yang selanjutnya terjadi.

     "Bawa mereka ke kantor saya!" perintahnya kemudian pergi meninggalkan rasa debar di dada.

     Febi murung, perasaanya sangat was-was. Kecewa dan gelisah semua menyatu, tak ada harapan untuk lari dari hukuman asrama.

     "Tenang, Akang akan cari jalan keluarnya," ucap pria berkacamata menenangkan.

     Penjaga asrama melepas peci dan menepukan ke tangannya. Menimbulkan suara seperti pukulan yang keras. "Dengar gak kalian teh!?"

     "Iya, Pak." Pria berkacamata menatap Febi, "kamu masuk kamar ya, terus ganti baju!" titahnya kemudian pergi.

     "Sana, Neng. Ganti baju! Nanti masuk angin," ucap penjaga asrama. "Mau saya antar?"

     "Nggak usah, Pak. Febi bisa sendiri."

     Pelan-pelan Febi bangkit. Kakinya yang pegal dan sakit dipaksa untuk berjalan. Di bawah plafon putih itu ia hanya dapat berharap semoga si pria berkacamata dapat meringankan hukuman yang diberikan.

     Tak habis pikir. Semua kejadian itu terjadi secara singkat dan sekarang mereka harus menerima hukuman. Tetapi ini sudah jadi kewajiban. Siapapun yang melanggar aturan asrama, maka harus siap dengan konsekuensinya.

     "Febi!" teriak Putri. Seorang gadis penyuka kerudung putih. Wajahnya hampir mirip dengan Febi. Hanya beda bapak dan ibu. "Kamu dari mana? Kok main hujan gak ajak aku."

     Febi tersenyum, "Aku kehujanan di jalan."

     "Kehujanan?" Putri tersenyum meledek. "Cie.... Digendong Rafa."

     "Ih, apaan sih. Nggak boleh gitu," ucap Febi sambil mencubit lengan Putri. "Tadi aku jatuh, terus ada Rafa yang bantuin."

     Putri melotot, lalu tersenyum genit. "Jatuh beneran atau.... Kamu suka ya sama Rafa?"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang