"Sekarang kamu beresin dulu cucian ini. Biar aku aja yang ke sana." Rafa beranjak mencuci lengan dan kakinya.
"Ya Allah, berat banget hidup ini." celotehnya sambil memukul-mukul baju ke atas batu.
Kain itu basah, seratnya pecah diratakan oleh amarah. Rasa kecewa dan benci sesaat berkumpul menjadi satu. Hatinya sedang bermasalah menunggu dia yang telah membuatnya lelah.
"Febi!" ucap Putri sambil berlari lalu membantu mencuci. "Kamu gak diapa-apain kan sama Rafa?"
Febi mendengus kesal. "Gak diapa-apain cuma dia ngapain ke sini sih!?"
"Siapa?" Putri mengambil detergen, "Si Kejam?"
Febi memutar bola matanya sebal, lalu mencuci lagi. "Iya."
"Maaf Feb, itu salah aku," ucapnya sambil fokus mencuci.
"Kamu gak bilang yang aneh-aneh kan?" Febi berhenti mencuci. "Jangan-jangan, kamu yang laporin aku sama Si Kejam?"
Putri mengangguk pelan. Matanya sendu, menandakan permohonan maaf yang berlebihan.
"Ya Allah Putri, gimana kalau sampai aku dikeluarin dari asrama. Kamu mau tanggung jawab?"
"Maaf Feb, aku kira masalahnya gak akan sebesar ini."
Si Kejam, adalah julukan terkenal di SMAN 1 Cisarua. Pria berjanggut tebal dengan wajah Arab itu memang terkenal dengan aura kejamnya. Dalam setiap hari, ada saja murid yang dia hukum. Membersihkan toilet, mushola, bahkan ada yang disuruh manjat dinding untuk mengambil bekicot. Ada-ada saja memang, tapi itulah Si Kejam. Mampu berbuat sesuatu tanpa terpikirkan oleh yang lain.
"Febiyanti, ditunggu di ruangan Bapak."
Suara dari toa lapangan itu sudah tidak asing bagi siswa-siswi asrama. Sudah sering sekali panggilan Si Kejam memekakan telinga semua orang.
"Put, gimana ya..."
"Gak usah panik. Kamu ke sana aja, palingan disuruh bersihin toilet."
Jemari gendutnya ia remas tanpa perasaan. Batinnya terus-terusan merutuk kekesalan untuk menjadi kebencian. Langkahnya tertahan setiap lima detik, berusaha menengkan pikiran sebelum benar-benar siap menerima ceramahan Si Kejam.
"Masuk!"
Suara berat itu membuatnya makin terdiam di dekat pintu. Hatinya masih tidak mau menerima kesalahan yang tidak disengaja. Jantungnya berpacu kencang, hingga aliran darah ke otak tak mampu menahan berbagai macam lamunan yang menyesatkan.
"Masuk!"
Perlahan kakinya melangkah. Ia berdiri tegap menghadap Jaksa Asrama. Pandangannya ke bawah, terus-terusan merutuk diri sendiri sebagai pengecut.
"Tenang, Feb. Aku sama kamu kok."
Bukannya senang Febi malah semakin memburuk. Pikirannya kacau, hampir saja pingsan karena terlalu banyak pikiran. Namun, bukan Febi jika tidak mau berhadapan dengan masalah.
"Kalian, mentang-mentang senior..." Si Kejam beranjak dari kursi yang diduduki dan menghampiri Febi dengan rotan pipih di tangannya.
"Maaf, itu salah saya," balas Rafa sekenanya.
"Ma, maaf. Febi juga salah udah mau nerima tawaran Rafa."
Plak!
Baru meja saja yang dipukul suaranya sudah seperti bom Nagasaki. Jantung mereka hampir meloncat dibuatnya. Terasa seperti dikagetkan di tebing, hampir saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PATAH HATI
Novela JuvenilBerawal dari pertemuan di Bis Kota, Adit merasa bahwa ia harus memaksakan diri untuk jatuh cinta lagi. Setelah sekian lama memendam perasaan dan berlarut-larut pada kepedihan. Ia akhirnya kembali membuka hati untuk wanita yang tidak disangka-sangka...