24. Hilang Asa

19 8 2
                                    

     Mentari menyapa dengan santai di timur sana. Tampak terang, cahayanya terasa sangat panas menyengat kulit. Embun di dedaunan jatuh kemudian melebur hilang diserap tanah. Seperti, harapan untuk memajukan hidup ke tahap lebih sempurna tapi gagal-Adit.

     Pemuda itu duduk di depan teras rumah sambil sibuk mengikat tali sepatu. Rambutnya disisir ke samping, klimis dengan basahan air. Ia lalu tersenyum meninggalkan Ibu dan melangkah dengan harapan yang baru. Setidaknya, ini lebih menguntungkan ketimbang menerima luka yang tidak tau harus disembuhkan dengan apa.

     Kemaja putih dengan celana katun itu telah membawanya masuk ke sebuah angkot hijau. Untungnya, di dalam tidak terlalu padat sehingga bisa bernapas dengan tenang. Radio yang dinyalakan saat itu memutar lagu Brisia Jodie berjudul Cinta Kau Di mana.

     Suaranya yang lembut cukup untuk menenangkan hati dan pikiran yang tidak sepadan dengan keadaan saat itu. Seperti, kembali menanyakan keseriusan hubungan yang dahulu pernah dijalani. Selebihnya, terserah. Mau dilupakan atau tidak sama saja, sejarahnya tidak akan hilang dan akan tetap abadi.

     Adit turun, menatap sebentar sebuah toko kecil di pinggir jalan. Ia duduk di sebuah beton yang sebagian basah karena hujan. Ponselnya kembali dibuka, beberapa pesan muncul di sana. Dan, nomor tidak dikenal kembali menghubunginya.

     "Dia lagi," katanya.

     Hal yang paling dibencinya adalah saat pesan yang tidak diinginkan itu kembali datang. Gadis yang dulu pernah merusak kenangan indah itu kembali lagi. Mengulang berjuta kata maaf dengan emotikon sedih. Percuma, sudah disia-siakan. batinnya.

     Seorang gadis bertubuh agak gendut datang diantar oleh pria yang masih muda. Ia tersenyum lalu menyalami pria itu, seperti pacarnya. Lalu pergi dan mendekati Adit.

     "Mau interview juga, A?" tanyanya sambil sibuk memasukan jaket ke dalam tas.

     "Iya," jawab Adit singkat.

     "Udah lama?" Ia duduk di samping Adit, lawan bicaranya hanya mengangguk. "Sekolah di mana?"

     "Di SMKN 1 Soreang."

     "Kalau saya mah di SMK 1 Merdeka."

     "Saya nanya?"

     Gadis itu mengulum senyumnya. Bibirnya bergetar seperti sedang mengumpat penuh penyesalan. Selepas percakapan singkat itu datang pula seorang pria dengan motor bebek jadulnya. Ia menyimpan helm di atas spion motor. Lalu ikut duduk sambil bermain ponsel.

      Setelah hampir pukul 7 pagi, beberapa orang datang membuka gerbang. Mereka tidak tersenyum, hanya buru-buru masuk.

      "Sombong banget..." celoteh gadis di samping Adit.

     Setelah cukup lama menunggu. Seorang pria dengan name tag Christ itu datang dan menyuruh masuk. Adit mengepal tangannya kuat-kuat sambil menenangkan diri untuk tidak gugup saat interview.

     Beberapa anak tangga yang dilewati membawa mereka masuk ke dalam ruangan interview, anehnya. Di sini banyak barang, jadi bukan tempat interview formal seperti di kantor besar yang sifatnya tertutup dan tidak bisa diganggu.

     "Selamat datang, silahkan!"

      Kata-kata itu memotong awal pembicaraan si pewawancara. Pewawancara itu menunduk sambil mengoceh pelan. Lalu tersenyum tipis sambil menaikan maskernya yang merosot.

      "Silahkan perkenalkan diri kalian!" ucapnya sambil berkaca pada ponsel untuk memastikan bulu matanya tidak lepas.

      Di ruang tersebut, bergaung dengan pertanyaan yang bertubi tapi santai-terlihat seperti mengobrol. Ada saja percakapan yang dijawab ngawur, ada juga yang dijawab dengan serius. Adit menjalani itu dengan sempurna. Tidak ada pilihan baginya selain di tempat itu. Setidaknya, ini akan menjadi pengalaman terbarunya di dunia marketing.

     "Silahkan tunggu di luar, nanti saya panggil lagi," kata pewawancara sambil melengos dan membereskan beberapa CV yang diterima.

     Baru beberapa langkah sebelum keluar toko, Adit dan pria di sampingnya sudah dipanggil ke atas. Sedangkan yang satu lagi ditinggalkan begitu saja. Sepertinya, nasib baik tidak bersamanya sekarang.

     "Selamat, kalian diterima. Kalian bisa bekerja sekarang," ucapnya.

     Adit merasa bahagia sekali. Dalam hati ia mengucap penuh syukur atas jawaban dari semua pertanyaanya.

     "Gimana nih?" tanya pria di samping Adit.

      Adit tidak menjawab, ia juga bingung harus apa. Beberapa perabotan rumah yang dipajang juga ia tidak mengerti harus apakan. Untung saja ada pegawai toko bernama Yayan yang saat itu datang menghampiri dengan senyuman yang lebar.

      "Buat di hari pertama ini, liat-liat dulu aja. Biar ngerti posisi barangnya di mana aja," katanya.

     Adit mengangguk kemudian berjalan luntang-lantung sambil menatap barang-barang houseware yang dipajang. Mereka berdua seperti bebek buntu, ke mana saja pergi berdua tidak mau terpisah. Lucu, tapi itulah yang terjadi saat masih tahap melepas rasa malu.

***

      Mentari sudah tergelincir jauh ke barat. Adit belum juga pulang, ia kira jadwal kerja yang biasa sampai sore ternyata salah. Saat itu, ia hanya diam sambil mengikhlaskan dalam hati untuk tetap singgah tanpa pergi dan membenci.

     Beberapa pegawai yang disebut sombong tadi sudah mulai tersenyum ceria. Dalam hati Adit tahu tentang gelapnya sisi dunia pekerjaan. Ternyata benar, persaingan akan sangat ketat saat ada atasan. Dan itu terbukti setelah Adit menetap tanpa peduli rasa benci.

     "Kamu betah di sini?" tanya gadis yang tadi pagi berbicara dengannya.

     "Baru satu hari, saya belum merasakan puluhan hari."

     "Jadi?"

     "Satu hari sudah bosan? Mau jadi apa." Adit mengambil barang yang ada di depannya. "Kalau kamu nurut sama kemauan sendiri terus, mau jadi apa? Kerja gak ada yang enak, harus di nikmati meskipun berat."

     Adit, berucap seperti itu atas pengalamannya sendiri yang gagal psikotes. Dia hanya pemberi support yang baik untuk orang lain, tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Setiap kata-kata yang dia keluarkan atas nama kenyataan yang dulu pernah terjadi.

     "Oh, aku gak kuat. Kerjanya gini terus, banyak yang sombong. Aku besok gak mau masuk, mau kabur."

     Adit menoleh, menatap wajah gadis itu. "Kenapa?"

      "Lingkungan sama jam kerjanya bikin aku gak nyaman."

      Percakapan itu berakhir setelah seorang pegawai berjalan mendekat dan mengusir secas tidak sengaja. Adit kembali sibuk dengan pekerjaannya sedangkan gadis tadi sudah turun dan kembali mengerjakan tugas yang tertinggal.

     Jam sudah menunjukan pukul delapan malam, toko akan segera ditutup. Beberapa kali suara pria yang sedikit melankolis terdengar dari speaker yang terus-terusan menyuruh pembeli untuk segera mempercepat transaksi. Adit disuruh membawa sapu kemudian melakukan kegiatan bersih-bersih.

     "Harus bener bersih-bersihnya, awas aja kalau masih ada secuil debu," kata wanita dibalik etalase kaca. Ia melotot, membuat Adit dan pria yang sepenanggungan bersamanya langsung diam dan menunduk.

     Begitu seharusnya hingga selesai bersih-bersih ada saja omelan yang terdengar. Di lantai bawah, mereka penuh tertawa tapi saat naik tangga saling mendorong-menyebar gosip yang tak pasti.

     Namanya dunia pekerjaan, tidak selamanya indah seperti yang dibayangkan. Ada saja orang yang memanfaatkan untuk kemudian dijatuhkan. Adapula yang tidak mau bekerja kemudian saat ada atasan langsung sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak penting. Inilah arti yang sebenarnya dari attitude, bukan soal bagus atau tidak. Yang pasti, berpikir sedikit. Manusia bukan babi yang digembalakan.

☔PATAH H💔ATI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang