41. Patahnya Ranting Muda

14 4 0
                                    

   Setelah keputusan untuk menghajar masih saja belum terbalaskan, ia menjadu risau kala itu. Tangannya berulang kali meremas, tak jarang juga memukul bagian dalam angkot. Matanya masih memerah, emosinya lama tak hilang hingga sampai di depan rumah pun ia masih marah.

   Langkahnya penuh, menderap pada setiap detiknya. Pandangannya mengedar ke setiap sisi, Febi sudah tidak ada di sana.

   "Feb!" panggilnya sedikit lembut.

   Perlahan pintu dibuka, menampakan keadaan rumah yang begitu sepi. Hanya sesenggukan parau yang terdengar dari arah dapur.

   "Febi!" panggilnya lagi. Namun, hanya dijawab oleh sesenggukan sebelum akhirnya berteriak.

   "Kamu ngapain!" ucapnya sambil berlari dan menahan tangan gadis itu.

   "Lepasin!" balas Febi sambil menangis dan menggerakan pisau tajam ke lengannya.

   "Kamu kenapa? Jangan kayak gini!" Rafa merebut pisau itu. "Patah hati boleh tapi gak gini juga caranya."

   Febi runtuh, jiwanya melemas dan merosot pelan. Ia duduk, disusul dengan Rafa yang berjongkok di depannya. Tangisnya pecah, merusakan jiwa bidadari yang selama ini dijaga.

   "Pergi!" titahnya sedikit berteriak.

   Rafa mendesah pelan. Ia menyentuh pundak Febi tapi langsung dihempaskan.

   "Pergi! Aku gak butuh kamu," ulangnya, tetapi sedikit lemah.

   "Feb..." Rafa memeluk gadis itu. "Aku gak mau kehilangan kamu."

   Beberapa tangisan sudah sangat mengiris hati. Namun tetap saja, gadis itu tidak dapat menghentikannya. Kendati Rafa sudah menenangkan, semua sama saja tidak ada hasilnya.

   "Udah, sekarang, kamu temenin aku. Mau?"

   Febi tidak menjawab ia masih sibuk menahan tangisnya agar tidak membludak.

   "Aku tunggu di luar ya?" tanya Rafa sambil menatap Febi sendu.

   Pisau itu ia simpan di tempat yang aman. Beberapa benda tajam, ia sembunyikan di tempat yang tidak mungkin dijangkau Febi. Napasnya tertarik kasar sebelum akhirnya melangkah pergi dan duduk di teras luar.

   Rasanya sangat tidak menentu. Setelah dikendalikan oleh emosi kini ia dikendalikan oleh perasaan khawatir. Cinta benar-benar membuat semua terasa tidak ada batasnya.

   Febi datang dengan pakaian tertutupnya yang tidak mahal. Ia menunduk, masih saja menahan perih dari lukanya sendiri. Rafa langsung berbalik dan menghampiri Febi. Ia menatap gadis itu, ingin menyentuhnya tapi tidak jadi.

   "Jangan nangis lagi ya, air mata kamu mahal."

   Kalimat itu sudah dua kali diucapkan. Febi baru saja teringat, bahwa memang Rafa yang selalu menemaninya. Namun, akankah semua ini abadi? Jodohnya mungkin Rafa tapi perasaannya, di siapa?

   "Yuk?" ajak Rafa sambil mengarahkan tangan ke jalanan.

   Febi hanya menurut, pandangannya tetap saya tertunduk lesu. Mereka naik ke dalam angkutan kota. Rafa berulang kali menatap, ingin memegang tapi diurungkan. Terus saja seperti itu hingga mereka tiba di sebuah mall besar.

   Jalannya terkaku-kaku, sedikit saling menjaga jarak tapi terus ingin bersama. Tempat itu sangat ramai, penuh dengan pengunjung. Semerbak aroma makanan dan farfum menyeruak masuk ke dalam hidung. Rafa tersenyum ceria, tetapi Febi masih saja menunduk menahan pedih.

   "Makan yuk?" ajak Rafa tapi Febi tidak menjawab. Rafa mendesah pelan. "Kamu jangan sedih terus, kamu cantik."

   Febi hanya diam, langkah kakinya mengikuti ke mana Rafa akan membawa dia. Sebuah meja putih dan kursi panjang menyambut ke duanya. Rafa duduk dengan senyuman ceria, menebar senyum pada semua pengunjung yang memerhatikan mereka.

   "Kamu mau makan apa?" tanyanya, tetapi tetap tidak dijawab. Rafa merapatkan kedua bibirnya, mengecao beberapa kali untuk memanggil seorang barista. "Soto betawi sama air teh manis," katanya sambil menunjukan telunjuk dan jari tengahnya.

   Pelayan itu mengangguk dan pergi sambil membawa daftar menu. Rafa menunduk, menatap tangannya sendiri yang diremas. Perlahan wajahnya terangkat menatap Febi yang murung seperti kuntilanak.

   "Fe-Feb..." ucapnya terbata-bata. Senyumnya kikuk. "Feb, kamu jangan nangis terus."

   Febi hanya diam, batinnya berkecamuk dikendalikan rasa kecewa.

   "Kamu gak pantas nangisin dia, kamu wanita kuat."

   Gadis itu masih saja diam. Pelayan yang tadi dipinta membawakan makakan kembali, tetapi Febi masih saja merenung.

   "Terimakasih," kata Rafa yang secara tidak langsung membuat pelayan itu pergi. "Makan Feb, kalau dingin gak enak."

   Febi masih saja dalam posisinya—merenung tentang kesalahan di masa lalu yang pernah ia buat. Tidak pernah ia kira kejadiannya akan seperti ini. Ia tidak mengira bahwa Adit, si cuek akan menjadi pendendam yang sangat mematikan.

   "Feb..." Rafa memegang tangan Febi. Entah kenapa kali ini ia menjadi berani. "Kamu jangan nangis terus dong, makan sotonya. Nanti keburu dingin."

   Ia mengaduk-aduk kuah sotonya, menyodorkan sesendok soto betawi ke mulut Febi. "Makan, Feb!"

   Febi tetap saja tidak mau bicara. Itu membuat nafsu makan Rafa hilang dan mereka saling diam.

   Dua orang yang sedang duduk di belakang tampak asik memadu kasih. Canda tawa serta kemesraan mereka membuat Febi merasakan pedih yang sulit di sembuhkan.

   "Kamu lucu kalau lagi nguyah kayak bayi."

   Kalimat yang ia dengar menambah kelarutan dalam sedih. Luka kecil yang diciptakan telah berefek besar merusak harinya. Ia menjadi berpikir bagaimana Adit yang sudah bertahun-tahun menahan luka, pasti sangat menyakitkan.

   Tanpa disadari, air matanya kembali menetes. Tangisnya membuncah membuat Rafa khawatir. Ia segera mengarahkan tangannya ke wajah Febi. Menghapus air mata yang terus mengalir.

   "Udah, jangan nangis terus. Gak malu diliatin sama orang?" ujar Rafa tapi Febi tidak peduli.

   Laki-laki itu menjadi bimbang. Ia berusaha bersikap baik-baik saja tapi tidak bisa. Perasaanya gundah, membuat tubuhnya terangkat pergi dan berjalan tanpa tujuan.

   Febi sama sekaki tidak bicara, itu membuat ia semakin bingung harus melakukan apa. Sebuah toilet pria yang ia masuki hanya menjadikan sebuah tempat penyaluran emosi.

   Di depan cermin yang menampilkan wajah dan keran yang terbuka, ia menatap tajam penuh emosi. Tangannya mengepal, sesekali menggeram dan ingin memukul kaca di depannya.

   Tetapi, akhirnya ia menjadi tenang. Perasaan yang memegang teguh harapan kini dibuang begitu saja. Tangannya yang mengepal, berubah menjadi telapak cicak. Ia menatap wajahnya sendiri dengan tenang.

   Ada sebesit rencana baru yang telah dibuat. Sakit dan cemburu kini hilang berubah menjadi tujuan yang harus dilakukan. Ia membasuh tangannya, lalu menyiram muka dan mematikan keran.

   "Aku akan lakukan apapun demi kamu, Feb," batinnya.

   Ia melangkah cepat menemui Febi yang masih diam dan menunduk. Perlahan senyumnya terukir, berusaha menghibur Febi. Tangannya kembali menyentuh gadis itu.

   "Besok, aku akan membawa Adit buat kamu," ucapnya membuat wajah Febi terangkat. "Feb, aku akan lakukan apa saja buat kamu. Asalkan kamu janji, kamu gak boleh nangis dan harus senyum."

   Sebenarnya, hatinya sakit ketika mengatakan itu. Tidak ada cara lain selain mempertemukan Adit dengannya. Apapun resikonya, bagi Rafa semua akan ia terima. Termasuk patah hati dan menerima jika kemungkinan, jodoh dia bukanlah Febi.




PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang