8. Biru Dan Hitam

70 16 5
                                    

     "Gue berat gak, Dit?" ucap Puspa di balik punggung penderitaan.

     Adit ingin sekali mengoceh dan mengeluapkan emosinya pada Puspa. Perempuan itu malah bertanya seperti itu. Seperti sengaja tidak sadar bahwa dirinya memang berat. Mengingat, berat badannya hampir naik satu kilogram setiap bulannya. Itu karena ia suka makan dan mengoleksi dosa-dosanya.

     "Nggak, Pus. Kamu enteng kayak baja."

     Puspa melotot dan memelintir telinga Adit. "Penghinaan! Gue laporin lo sama polisi."

     "Terserah kamu."

     Sudah menjadi kebiasaan Puspa seperti itu. Dipuji ataupun tidak, ia tetap akan marah pada akhirnya. Mungkin, masa PMS-nya belum pernah berakhir.

     "Turunin gue!"

     "Masih jauh, sabar."

     "Jangan ngeyel, atau gue tonjok lo!"

     "Iya," ucap Adit pelan sambil menurunkan Puspa. "Kenapa?"

     "Gue, mau beli payung." Matanya bekilau terkena sinar lampu jalanan.

     "Buat apa?"

     "Buat lo, sama buat gue juga." Puspa menarik tangan Adit, "Yuk!"

     Adit bergeming kemudian menggeleng. "Nggak usah, udah basah kayak gini. Percuma."

     "Nggak usah ngeyel deh, yuk!" Puspa menarik Adit lagi. Tapi pria itu malah diam dan menolak untuk diajak pergi. "Adit, lo gak boleh sakit. Kalau lo sakit, gue sedih.

     "Sedih, kenapa?"

     "Kalau lo sakit, gue gak punya pembantu." Puspa tertawa lepas kemudian berlari secepat kilat menuju toko peralatan rumah tangga yang masih buka. "Lo tunggu di situ ya!" ucapnya sebelum menghilang di antara karpet plastik yang terpajang depan toko.

     Adit tersenyum simpul. Tatapan sendu layaknya awan murung di kota Bandung ini. Perlahan kakinya melangkah, meninggalkan jejak sekilas pada genangan air yang tercipta. Hatinya kembali merasakan perih. Lukanya tidak akan pernah sembuh, sekalipun wanita itu datang.

     Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Warna abu itu mulai menghitam saat terkena air hujan. Rambutnya yang rapi menjebak ratusan tetes air yang datang.

     "Adit! Lo gila!"

     Puspa di ujung jalan sana terlihat sedang mengoceh tidak jelas. Kata-kata anak milenial keluar dari mulutnya. Tangannya melayang beberapa kali ke udara sambil menunjukkan dua buah payung plastik murah.

     Adit yang mendengar itu hanya diam saja sembari terus berjalan. Ia tidak begitu menghiraukan Puspa. Lagi pula rumah Puspa tinggal tiga meter dari toko tersebut. Tidak jauh dan tidak menguras banyak tenaga.

     Bandung masih diguyur hujan. Lagu-lagu memorian terdengar dari salah satu rumah marmer di samping jalan. Adit berhenti sejenak, menatap seorang gadis yang sedang duduk sambil minum secangkir teh di balkonnya.

     Gadis itu menatap Adit, lalu ia masuk ke dalam kamarnya dan menutup semua gorden. Terbayang di benaknya sulit melupakan wanita itu. Adit sedang dalam masa kritis mental. Jiwanya hancur oleh masa lalu. Hatinya masih lelah untuk merima kehidupan yang nyata.

     Nyatanya gadis itu tidak benar-benar pergi. Ia mengintip dari balik sela-sela jendela kamar untuk melihat Adit di jalanan yang basah. Ia merasa tidak tega dengan apa yang telah dilakukannya. Namun, jika ayahnya melihat ada pria lain sedang bersamanya, pasti marah. Walaupun hanya sekedar bertukar tatapan.

     "Mas!" Suara cempreng itu mengalihkan pandangannya.

     Adit menatap gadis itu dari kejauhan sedang berlari mendekat. Ia menunduk lalu kembali berjalan meninggalkan harapan yang kini ditinggal penuh penyesalan.

     Terlihat gadis itu jatuh di atas genangan air. Bukan pingsan, hanya saja kakinya terkilir karena terlalu asik berlari.

     "Mas!" teriaknya sekali lagi.

     Tetapi Adit sudah terlalu jauh. Ia tidak dapat mendengar suara gadis itu lagi. Memang sulit tertekan oleh keadaan. Ingin mengakhiri hidup saja rasanya penuh beban pikiran. Semua yang selalu ada, pasti membujuk untuk tetap menikmati hidup yang pedih.

     Gadis itu adalah Febi. Ia bangkit lalu berjalan menepi dan duduk di teras toko yang sudah tutup. Kakinya yang tergores aspal berdarah. Dengan segera ia membersihkan lukanya dengan air hujan. Suara rintihan pelan terdengar saat air itu membasahi lukanya.

     "Kenapa?" tanya seorang pria berkamata di sampingnya.

     Febi menatapnya. "Jatuh, Raf."

     "Tunggu di sini ya!" ucapnya kemudian pergi meninggalkan Febi.

     Febi mengangguk, kemudian memijat kakinya yang terasa pegal. Tak lama kemudian, pria berkacamata itu datang membawa setangkai pohon pisang muda.

     "Obatin dulu ya, biar gak infeksi."

     Febi hanya mengangguk sebagai jawaban. Pelan-pelan lukanya dibersihkan, lalu ditetesi getah pohon pisang. Febi merintih menahan perih. Sesekali pria berkacamata itu tersenyum agar Febi tidak serius dengan sakit di kakinya.

     Pria itu membuang pohon pisang muda yang dipegangnya. "Tinggal nunggu kering. Aku gendong ya?"

     "Eh, gak usah. Aku bisa jalan sendiri kok."

     "Kamu udah capek kan, dari tadi lari sampai jatuh gini."

     "Nggak usah,Raf."

     "Jangan maksain, Feb. Kamu lagi sakit."

     Febi hanya diam, keduanya bertatapan saling meyakinkan. Febi mengangguk, kemudian naik ke punggung pria berkacamata itu dan mereka segera pergi.

     Di bawah pohon mangga Adit melihat keduanya sedang menerobos hujan. Nampak wajah muram padanya. Apalagi saat Febi memeluk pria itu dan mereka menghilang di kegelapan. Itu membuat hatinya kembali sakit. Kejadian dulu yang selalu membuatnya tertawa kini berubah menjadi luka.

     Sungguh sakit. Ia tidak peduli dengan semua orang di dunia ini. Ia malas untuk memberikan perhatian karena telah disia-siakan. Pantasnya bersikap acuh menghadapi semua hal. Ia malas dengan sikap palsu semua orang. Sudah muak rasanya dimanfaatkan untuk hiburan dikala kesepian.

     "Dit!" Sandi berjalan ke arahnya sambil menghisap nikotin. Tangannya yang besar menepuk pundak sahabatnya itu. "Sorry soal tadi."

     Adit diam membisu. Lantas tersenyum simpul dan pergi meninggalkan Sandi. Bulu di tangannya mulai berdiri, memberikan respon negatif pada udara dingin. Dengan cepat ia berlari menuju rumahnya. Tempat yang paling banyak menemukan pemikiran baru, lebih tepatnya menambah beban pikiran.

     Sandi membuang rokoknya yang sudah hampir terbakar habis. Ia menatap seseorang di seberang jalan sana sedang berlari menembus air hujan. Entah harus apalagi yang harus ia lakukan untuk sahabatnya itu. Sudah tidak ada cara lain selalin diam dan tidak ikut campur.

     "Semoga, lo cepetan bisa move on, Dit," gumamnya.

     Ia melangkah menuju warung Atin dan membeli sebungkus rokok. Ia duduk di samping warung, menikmati beberapa pisang goreng sambil menunggu hujan reda.

     "Tumben sendirian, ke mana yang lain?" ucap Atin sambil membawa sepiring pisang goreng dan cabai merah di sampingnya.

     "Kok ada cabenya, Bi?"

     "Eh, gak tau ya? Kalau makan pisang goreng tuh enaknya pake cabe. Jadi ada pedes-pedesnya gitu. Sok, cobain geura!"

     Sandi tertawa. "Ini bisa jadi menu baru, Bi."

     "Iya, Bibi teh sengaja biar stok kopi terjaga. Pusing atuh kalau kopinya habis terus diutangin," curhat Atin sembari memanyunkan bibirnya.

     Sandi hanya tertawa gelak mendengarnya. Strategi Atin cukup bagus—pikirnya.

--☔PATAH H💔TI☔--

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang