23. Saling Mengerti

20 9 2
                                    

"Air, cepat air!" kata Emak begitu panik.

Pria berseragam SMP segera pergi mengambil air kemudian memberikannya pada Emak. Emak sibuk menyipratkan air ke wajah Wirman. Setelah beberapa detik kemudian, putranya itu bangkit. Segera ia memberikan minum, lalu mendudukannya.

"Kamu kenapa?" tanya Emak khawatir.

"Biasa, anak muda," ujar Wisnu sambil menyenggol Darwis dan mereka tertawa bersama.

"Grogi, Man?" Darwis ikut berbicara.

Emak hanya menggeleng kemudian memeriksa Wirman, memastikan agar putranya aman.

"Ngapain, Mak?" Wirman menggeser tangan emak kemudian menatap sekeliling. "Neta mana?"

Wisnu tertawa besar. "Anak muda jaman sekarang, malah nanyain gadis," ucapnya lalu tertawa lagi.

Wirman berdiri mengabaikan Emak. Ia bergegas mencari sosok Neta yang selama ini dikenalnya tidak terlalu dekat. Mengingat pacarannya yang baru lima hari, itu pun jarang bertemu dan hanya melakukan chatting. Tak heran kenapa ia begitu syok setelah tahu wajah Neta sebenarnya. Itu karena, Neta selalu mengenakan masker ketika bertemu.

Cantik? Memang cantik. Kekurangannya hanya ada pada gigi, seperti monster orang bilang. Lebih ke perasaan, Wirman merasa dibohongi. Ia ke sana-ke mari mencari Neta. Sosok gadis berambut seleher itu sedang duduk di teras. Ia mendekatinya, lalu ikut duduk.

"Kenapa kamu bohongin aku?" tanya pelan tanpa melihat ke arah Neta.

Neta menunduk, jarinya diremas tak karuan. "Aku, malu."

Wirman menatap Neta, "Kenapa harus malu? Kalau kamu bilang dari awal aku pasti ngerti!"

"Maaf."

"Gak perlu maaf segala, kepercayaan aku udah habis." Wirman meraih tangan Neta tapi Neta tidak mau. "Lepasin cincinnya atau..."

"Gak mau." Neta berdiri sambil memegang cincin tunangannya. "Aku gak mau lepas cincin tunangan ini. Kamu udah janji mau jaga aku, kamu udah bilang sama Ayah kamu setuju."

Neta hanya diam terpaku dan bingung harus melakukan apa. Wirman berdiri, lalu beralih untuk melihat pemandangan pegunungan. Ia mengerjap, rasa sakit atas pembohongan orang yang dicinta kini menusuk hati.

"Ternyata, orang kayak kamu.... Pembohong!" ucapnya tanpa menatap Neta. Tangannya mengepal sesaat kemudian kembali membuka.

Neta perlahan berjalan mendekat. Ia memegang lengan Wirman. "Maaf," ucapnya parau.

Cincin itu ia lepas sendiri. Sesaat air matanya menetes merasakan kehilangan yang dalam. Ia menatap Wirman dengan mata berkaca-kaca. Hatinya gundah gulana. Ingin berpisah, tapi masih sayang. Kalaupun dilanjut, ia tidak tahu Wirman masih cinta atau tidak.

"Ini cincinya." Neta memberikan cincin itu ke tangan Wirman. "Maaf, karena aku udah bohongin kamu."

Neta perlahan pergi meninggalkan Wirman dengan seribu opini. Wirman hanya diam tertegun menatap cincin yang basah di tangannya. Ia merasa iba, tetapi kebenciannya masih ada.

Wirman saat itu bisa dibilang mendapatkan hidayah. Beberapa pikiran masuk dan menusuk ke dalam hatinya. Bukankah salah membenci seseorang yang baru saja kita cintai? Itulah yang Wirman pikirkan. Ia juga tidak mungkin memutuskan hubungan yang sudah disetujui orang tua. Berat rasanya, tetapi yang namanya takdir tidak bisa disangkal. Ia harus menjalaninya meskipun terasa berat.

"Neta!" panggilnya. Gadis itu memutar tubuhnya, rambutnya bergoyang dan gigi tonggosnya terlihat mengkilat terkena sinar cahaya lampu.

Wirman berjalan mendekat. Ia memegang tangan Neta, lalu memasukan cincin tunangan itu ke jari manisnya.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang