32. Proses Berbangkit

24 10 2
                                    

     "Kamu kerja yang bener! Ini udah jam berapa? Masa kerjaan segitu gak beres-beres!"

     Raungan si Singa Kurus menggema di lorong alat dapur. Wanita itu berceloteh terus tanpa memedulikan keadaan di sekitar. Beberapa teman kerjanya hanya menunduk, memaklumi kebiasaan si Singa yang suka marah tiba-tiba.

     Adit menelan ludahnya kasar sembari menunduk. Apa daya jika berhadapan dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi, membela salah, diam juga pasti dicap salah. Ingin rasanya ia mengungkapkan betapa tertekannya ia saat itu. Perut kosong, belum diberi waktu istirahat pasti pekerjaan juga terhambat.

     "Saya mau ini beres secepatnya!" ucapnya kemudian pergi dengan suara klatak-kletuk sepatu high heels yang berwarna terang.

     Adit membuang napasnya kasar. Ia mendengus kesal tapi tetap mencoba bersabar. Pekerjaan yang menumpuk kembali dikerjakan, biar tertekan, namanya juga dunia pekerjaan, ia tidak peduli yang penting saat ini ada effort terbaik.

     "Bagong!" celoteh pria di sampingnya. "Yang sabar, masa PMS nya berabad-abad."

     Adit hanya tersenyum simpul dan masih sibuk dengan pekerjaan. Ini sudah malam, ia masih sibuk di sana dengan pekerjaaannya. Entahlah, semoga saja kedepannya akan lebih baik.

     "Untung bentar lagi pulang, udah panas telinga gue denger dia ngomong," ketus pria tadi, masih saja mengomel di belakang Adit.

     Sudah sekitar pukul empat sore. Kala itu turun hujan rintik-rintik. Adit segera bergegas menuju gudang. Mengambil tasnya, lalu melakukan absen pada daftar nama digital. Ia saling berpapasan dengan beberapa pekerja yang mengganti jadwal shif. Sedikit canggung, tapi inilah perasaan. Mau tidak mau harus ditekan untuk terlihat biasa saja.

     "Hati-hati!" ucap pria sepekerjaannya kemudian melalukan tos dengan Adit.

     Hujan yang tadinya rintik-rintik kini mulai membesar. Adit duduk dengan santai, memeluk tubuhnya sendiri untuk menciptakan kehangatan. Seorang wanita datang dengan senyuman yang khas. Ia duduk, tasnya dipangku dan menatap Adit dengan gembira.

     "Lo, baru di sini?" tanyanya.

     "Iya."

     "Hujannya gede banget, lo bawa payung gak?"

     Adit hanya diam. Ia malas menjawab pertanyaan yang tidak harus dijawab. Sudah tahu ia sedang meneduh malah bertanya bawa payung atau tidak.

     "Lo pulang mau naik apa?"

     Adit menunjuk ke tulisan ‘Bus’.

     "Oh.... Gue juga mau naik bus. Lumayan murah dan teduh, gak kayak angkot."

     Adit hanya diam. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk melanjutkan atau mengakhiri obrolan itu. Perbincangannya saja terasa kosong, tidak ada manfaatnya.

     "Gue tertekan kerja di sini, pengen keluar tapi masih butuh," katanya mengundang rasa penasaran Adit.

     "Kenapa?"

     "Tiap hari gue dimarahin, pas banget ada manager lagi, mentang-mentang jabatan dia supervisor." Ia mendengus kesal, lalu berpangku tangan. "Lo tau gak? Gue kerja udah sebisa gue. Tapi dia gak pernah hargain gue. Gue selalu buruk di matanya."

     "Namanya juga dunia pekerjaan, pasti ingin terlihat di depan atasan."

     "Iya lo bener banget! Padahal gue gak ngelakuin kesalahan apa-apa, tapi dia langsung marah-marah pas ada atasan."

     "Sabar." Adit meremas kedua jemarinya, bertaut satu sama lain untuk menciptakan kehangatan yang baru. "Apa yang membuat kamu bertahan kerja di sana?"

     Wanita itu mendelik sebal. "Yang pasti karena orang tua. Kedua, gua jauh-jauh dari Sukabumi ke sini cuma buat cari kerja. Pas udah keterima di sini, masa mau keluar gitu aja. Masih banyak keperluan, gue masih butuh duit."

     "Kamu kerja di sana udah berapa lama?"

     "Satu tahun lebih, tapi banyak banget lika-likunya."

     Bus biru saat itu menepi. Adit segera berdiri lalu menatap wanita yang tadi duduk bersamanya.

     "Mau bareng?"

     "Gue nanti aja, mau merenung dulu," ucapnya kecut.

     Adit mengangguk. Ia masuk ke dalam bus itu dan duduk di tempat biasa. Benar saja, hujan yang terasa kecil ternyata sangatlah lebat—deras sekali. Kaca bus pun terlihat berembun, dingin sekali.

     "Ternyata... Seperti itu," batinnya.

     Ia memikirkan apa yang wanita itu ucapkan. Seketika hidupnya sedikit menjadi cerah. Yang duluny gelap, kini terang dengan cahaya masa depan. Orang itu sudah berpengalaman. Tetapi masih sanggup untuk bertahan dengan alasan orangtua dan ekonomi. Sangat sulit memang, kita harus menekan hati dan ego sendiri untuk orang lain.

     Jika memang saat ini ia ingin resign dari pekerjaannya, mau ke mana selanjutnya? Sudah mengalami kegagalan berulang kali untuk bisa bekerja, yang ini malah akan disia-siakan. Terluka, hancur, kini terobati dengan rencana-rencana baru di masa depan.

     Halte Bumi Parahyangan Kencana.

     Adit bergeser ketika seorang gadis duduk di sebelahnya. Ia sedikit menempel pada sisi bus, menjaga jarak agar tidak terjadi hal-hal aneh.

     "Adit!" ucapnya sambil mencubit. "Gue kangen banget sama lo."

     Dia adalah Puspa, awalnya Adit tidak tahu siapa yang datang. Namun, dari aroma farfumnya ia sudah tahu. Malaikat maut itu datang, mengguncang semua ketenangan.

     "Ngomong dong! Jangan diem-dieman gini, lo punya mulut kan?"

     "Iya, ada apa?"

     "Tebak, gue dari mana?" Wajahnya berseri-seri sekali. Seperti tidak ada rasa kecewa setelah ditinggalkan kekasih palsunya.

     "Dari jalanan?"

     Puspa mendelik. "Pakaian rapi gini masa dari jalanan?" Napasnya kasarnya keluar. "Gue ngelamar kerja."

     "Hasilnya?"

     "Gak lulus!" katanya riang kemudian tertawa kecil.

     Adit hanya menggeleng. Gadis itu berbeda sekali dengannya. Gagal malah senang, entah punya penyakit jiwa apa dia. Yang pasti, itu tidak normal bagi sebagian orang.

     "Kamu gagal senang?"

     "Iyalah, ini baru pertama gue ngelamar kerja. Jabatan tangan sama Om-om ganteng, ih! Manisnya."

     "Astaghfirullah, tobat."

     Sudah tidak heran. Benar saja, dia bahagia karena ada seseorang yang ia impikan. Gadis itu aneh sekali, sikapnya petakilan. Tetapi jika berteman dengan orang semacam ini, hidup tidak akan monoton. Selalu saja ada cerita di setiap langkah tangga dunia.

     "Malah istighfar."

     "Besok, kamu ikut saya!"

     "Ke mana? Gak ah! Gue mau ngelamar kerja lagi biar ketemu sama Om-om."

     "Astaghfirullah, berdosa."

     "Tapi gue gak ngelakuin apa-apa. Hanya menggagumi saja."

     "Besok ikut saya ke psikiater!"

     "Gue gak sakit mental, yang sakit itu lo," ucapnya sambil menujuk kening Adit. "Gak bisa ngomong, menerenung terus kayak batu."

     Puspa menggeser duduknya. Ia memainkan ponsel, scroll sosial media sampai bosan. Adit hanya menggeleng. Puspa memang tidak bisa berubah, sudah diingatkan beberapa kali tetap saja seperti itu. Harus banyak bersabar jika berteman dengan dia.

      Gagal adalah peristiwa menyebalkan yang dijauhi malah semakin mendekat. Tetapi, proses ini tidak terlalu menjadi permasalahan bagi beberapa orang. Adit, ia selalu merasa dirinya gagal. Takut mencoba hingga akhirnya berada di zona nyaman. Seharusnya, keluar saja. Tidak rugi juga, melainkan memotivasi untuk terus belajar dari kesalahan. Anehnya, masa lalu ia selalu membuat semua terasa semu. Sulit diartikan.

☔PATAH H💔TI☔

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang