14. Gejolak Batin

28 10 2
                                    

     Dalam duduknya ia diam tanpa suara. Alunan lagu Turki berjudul Bende Yoluma Giderim milik Ayten Rasul itu mengalun syahdu di kedua telinga. Ranting pohon cemara melambai pelan ke arahnya. Menunjukan jalan terbaik untuk masa yang akan segera datang.

     "Wey, Bro!" Sandi menepuk pundak Adit lalu duduk di sebelahnya. "Gak bosen mulu?"

     Adit melepas sebelah earphonenya. Ia menengadah, lautan biru dengan tumpahan busa itu membuat semua perasaannya menjadi lebih tenang.

     "Pernah kepikiran buat mati gak?" ucapnya sedikit terbata-bata.

     Sandi langsung menjitak kepala Adit. "Yang bener kalau ngomong, belum juga kawin udah mau mati. Hadeh..."

     "Kamu gak akan pernah tau apa yang saya rasakan." Adit menunduk. Tampak rumput kuning yang sudah lama tidak terurus.

     "Dit, sorry soal kemarin."

     Adit tak bergeming—masih asyik mendengarkan lagu Turki yang diputar melalui ponselnya.

     "Tumben pagi-pagi gini gak baca buku. Bentar lagi ujian."

     Adit berdiri, lalu berjalan menepi ke sisi sekolah. Dilihatnya pesawahan yang luas. Beberapa petani sedang sibuk mengais rezeki. Keringatnya bercampur dengan tanah pesawahan. Adit dapat merasakan pedihnya masa depan, ia tak tahu harus apa dan bagaimana. Hidupnya gelap—masa lalu pun seakan terus menghantui dan sulit dilupakan.

     "Pergi mulu, heran." Sandi berjongkok di belakang Adit. Punggunya bersandar pada sisi tembok sekolah.

     Pemantik itu dikeluarkan dari dalam saku celana. Disusul dengan sebatang rokok yang rasanya manis—bagi mereka yang candu pada rasanya.

     "Kita hidup gak sendirian." Sandi mengetuk ujung rokoknya. Sekar bekas pembakaran melayang di udara kemudian jatuh tanpa suara. "Jangan terus sendirian, lo butuh seseorang buat tenangin perasaan."

     Sandi kembali menghisap rasa manis pada rokoknya. Asap yang mengepul di udara berhasil memancing ke datangan seseorang.

     "Woy! Ngerokok pagi-pagi," ucap Wirman dengan senyuman tengilnya. "Minta satu!"

     Sandi membuka bungkus rokok dan menyodorkan pada Wirman. Pemantik itu kembali dinyalakan. Asap kembali mengepul di udara. Membuat sesak dada yang pasif dalam hal itu.

    "Gak cowok kalau gak ngerokok."

     Itulah yang Wirman katakan untuk menyindir Adit. Pemuda itu terlalu kuat imannya. Terlalu keras untuk diajak ke dalam kesesatan. Hidupnya selalu penuh aturan—sibuk.

     Adit melepas sebelah earphonenya. "Ngerokok cuma bisa ngabisin duit."

     "Seengaknya ini nikmat." Wirman memerhatikan rokoknya yang habis dibakar seratan api.

     Adit melepas kedua earphonenya. Sejenak merasakan udara sejuk yang bercampur dengan asap rokok yang menyesakan dada. Ia diam sejenak, sesuatu yang menyakitkan itu masih terasa. Sulit sekali menghilangnya bahkan, memiliki yang baru pun tak pasti. Yang ada hanya akan terus dihantui sampai detik terakhir kehidupan.

     Perlahan ia mengangkat kakinya dan pergi dari sana. Wirman dan Sandi saling tatap tidak mengerti, kemudian tak peduli. Adit seperti lautan yang diberikan ketenangan. Saat dia marah, seakan mampu menenggelamkan kapal pesiar besar. Jika sedang diam, jiwanya seakan tenang. Jauh dari ombak yang menaklukan samudra.

     "Adit!" Puspa berlari sambil membawa tas jinjingnya—itu lebih terlihat seperti kresek kain. "Lo ih!" Puspa mencubit Adit. "Kenapa gak nungguin gue?"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang