49. Merajuk

20 4 0
                                    

   "Pus, tunggu!" teriak Adit sambil berusaha menyusul. "Kamu kenapa?"

   Puspa berdecak sebal. "Gue udah bilang jangan manggil gue 'Pus'!"

   Adit berhenti berlari dan membungkuk untuk menetralkan napasnya yang menderu. "Maaf." Adit berdiri, mendekati Puspa. "Ke sana lagi yuk?"

   Puspa berpangku tangan. Bibirnya menukik ke dalam. "Gak mau!"

   "Kenapa?"

   "Gue males ketemu sama cowok brengsek itu."

   "Pus... Sekali aja kamu nurut sama saya, bisakan?"

   Puspa menggeram, tetapi akhirnya diam saja. Napasnya menderu, kemudian menjadi santai. "Ya udah, sekali aja kan?"

   "Iya."

   Puspa mengangguk, mencekal lengan Adit dan membawanya kembali berjalan ke kost Sandi. Sebuah senyuman smirk dan tawa ceria menyambut kedatangan mereka.

   "Udah gue bilang, mereka pasti balik lagi," celetuk Zaki yang hampir saja diberikan tamparan kedua tapi Adit langsung menahannya.

   Neta dan Wirman berjalan mendekat. Mereka menatap Sandi penuh penekanan. Ada perasaan tidak ingin berpisah. Namun, ini sudah takdir. Mereka tidak bisa menyangkal bahwa semua ini akan terjadi.

   "Lo beneran mau pergi, San?" ucap Wirman seperti tidak merelakan sahabatnya itu pergi.

   Sandi mengangguk. Turun dari atas motor dan memeluk pria itu untuk kedua kalinya. "Iya, Man. Gue serius, dua rius kalau boleh." Cengiran khasnya membuat hati semakin tersayat.

   Lelaki bertubuh sedikit gendut itu menatap Adit, lalu tersenyum dan menghampirinya. Tangannya berjabat dengan tenang, senyumnya tertukar sat ia menggoyangkan tangan.

   "Selamat tinggal, semoga kita bisa bertemu lagi," ucapnya tenang kemudian memeluk Adit dan sedikit berkaca-kaca.

   Pelukan itu diakhiri dengan senyum yang mengores hati. Puspa dijabat tangannya sebentar lalu ia masuk ke dalam rumah untuk mematikan listrik dan membawa semua barangnya.

   "Tolongin gue!" teriaknya sehingga semua orang yang ada di sana segera beranjak membantu Sandi.

   Puspa hanya membawa barang kecil dan makanan yang sudah dibungkus. Motor klasik Zaki dijejal beberapa barang kecil yang disatukan dalam kresek sehingga terlihat besar.

   "Mau berangkat sekarang?" tanya Zaki menyakinkan. Sebenarnya, ia juga tidak menginginkan sahabatnya itu pergi.

   Sandi mengangguk mantap. "Gue serius," jawabnya lalu duduk di jok motor belakang sambil memangku dua buah kresek dan menggendong gitar kesayangan.

   Zaki mengangguk pelan lalu duduk di depan. Motor itu mulai dinyalakan, tetapi malah menggelembungkan asap di udara. Zaki tidak menyerah, ia mencobanya lagi, tetapi tetap saja nihil.

   "Habi bensin kali?" ujar Sandi lalu turun dan menyimpan kresek di atas tanah.

   "Bukan, biasalah, penyakit motor tua."

   Zaki mengutak-atik mesin motornya. Berulang kali naik dan menghidupkan motor hingga akhirnya menyala. "Ayo naik!" titahnya.

   Sandi mengangguk lalu duduk di belakang Zaki. Motor itu digerungkan membuat asap yang mengepul sedikit berkurang.

   "Gue pulang dulu ya! Jaga pertemanan kalian baik-baik sebelum gue kembali!"

   Ucapan itu ditutup dengan suara knalpot motor yang berisik. Neta bergelayut di dada Wirman yang sesenggukan.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang