Lima puluh satu [END]

4.3K 176 86
                                    

Bulan demi bulan telah berlalu, perut Agni juga sudah mulai membesar. Kini Agni, Avan, dan Gaffi tengah berada di pesantren untuk selamatan tujuh bulanan Agni.

Agni sangat bahagia, ada suami yang selalu mendampinginya dan selalu membimbingnya. Mempunyai anak yang tampan, sholeh, dan pintar mengaji. Agni sangat beruntung.

Avan memegang perut Agni yang besar, menciumnya lama. "Assalamualaikum anak Baba, kamu apa kabar di dalam sana?" Mengajak bicara janinnya.

"Baik Baba," balas Agni menirukan suara bayi, membuat Avan terkekeh.

"Nanti kalau kamu lahir jangan repotin Amma ya, jangan bikin capek dia. Baba sayang banget sama kamu."

Agni mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan perkataan Avan. Ia menggeleng, membuang jauh-jauh pikiran negatifnya.

"Iya Baba, aku janji," balas Agni.

Avan geleng-geleng kepala. "Duduk Ag, aku mau bicara."

Agni menurut, menatap Avan. Menunggu suaminya bicara. Avan mengelus punggung tangan Agni, tersenyum tulus padanya.

"Agni, aku minta kamu jaga Gaffi dan bayi kita yang ada di kandungan kamu dengan baik."

Kening Agni berkerut. "Aku pasti jaga mereka dengan baik, kan ada kamu juga."

Avan melebarkan senyumnya. "Semua makhluk yang hidup, pasti nantinya akan mengalami kematian."

"Dan sebelum kamu meninggalkan aku, aku akan meminta lebih dulu, bahwa aku yang akan meninggal sebelum kamu." Memegang kedua tangan Avan dengan erat, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku gak bisa hidup tanpa kamu Van, aku gak bisa mendidik anak-anak sebaik kamu mendidik mereka."

"Sst! Dengarkan aku, kamu bisa menjaga mereka. Kamu bisa mendidik anak-anak kita. Aku percaya sama kamu."

Agni menggeleng. "Avan ... "

"Kullu nafsin dzaa-iqatul mauti, yang memiliki arti setiap yang bernyawa akan merasakan mati."

Avan memegang tangan Agni, mengusapnya lembut. "Kematian adalah ujung perjalanan setiap makhluk di dunia, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Kematian makhluk adalah hal yang wajar, karena setiap makhluk pasti akan mati dan hanya Allah swt Yang Maha Kekal Abadi."

"Suatu hari kita pasti akan dipisahkan oleh yang namanya kematian. Namun, aku yakin. Kita pasti akan bersatu kembali di surganya Allah, bersama anak-anak kita."

Agni lagi-lagi menggeleng, air mata keluar dari pelupuk matanya. Avan tersenyum sambil menghapusnya.

"Avan, janji sama aku. Kamu gak akan pernah ninggalin aku."

Avan hanya membalasnya dengan senyuman.

***

"Baba."

Panggilan Gaffi membuat Avan yang tadi sedang berdzikir menoleh. Ia tersenyum pada putra pertamanya.

"Gaffi, ayo duduk." Menyuruh Gaffi untuk duduk di pangkuannya. "Ada apa?"

"Gaffi boleh tanya sesuatu?"

"Tentu saja boleh, Gaffi ingin bertanya apa?"

"Kalau kita sedang sholat, tiba-tiba imam meninggal bagaimana?"

Entah dari mana Gaffi bisa bertanya seperti itu. Anak itu tiba-tiba saja ingin tau. Avan tersenyum sebentar, kembali menatap putranya.

"Kita tetap melanjutkan sholat. Tetapi, Jika jamaahnya banyak kamu bisa mengambil alih jadi imamnya. Setelah itu kita baru merawat sang jenazah," jelas Avan. "Paham?"

ZAUJATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang