-Ana uhibbuki fillah, Zaujati-
"Apa bisa anda menjamin jika saya menikah denganmu, saya akan mendapat surganya Allah?"
"Saya hanya wajib membimbingmu dan berusaha membahagiakanmu, surgamu memang ada padaku, dan itu pun jika kamu taat kepadaku."
Agni...
"Mulai hari ini kamu sudah menjadi istri sah saya, Mulai hari ini juga, kamu sudah menjadi tanggung jawab saya. Agni Anantasya."
–Muhammad Avan Ghazalah–
–Zaujati–
Agni duduk di depan kaca rias, menatap dirinya yang kelihatan sangat berbeda dengan biasanya. Gadis itu menggunakan baju pengantin berwarna putih dengan warna jilbab senada, serta riasan tipis.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Agni tidak suka menggunakan riasan, oleh sebab itu ia agak kaget dengan wajahnya ini walaupun hanya riasan tipis saja.
Pintu kamar terbuka, mama Daun datang menghampiri putrinya yang kini sedang duduk sambil memandangi wajahnya.
"Wah anak mama cantik sekali," puji mama Daun. "Enggak kerasa, sebentar lagi anak mama yang paling manja akan menjadi istri orang."
"Iih mama!" rengek Agni, memeluk mama Daun erat.
Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Avan. Entah kenapa Agni jadi tegang seperti ini, padahal kan bukan Agni yang mengucapkan ijab kabul.
Tak lama ummi Flora datang bersama Dara, keduanya tersenyum melihat Agni yang sangat cantik mengenakan kostum pernikahan yang dipilih oleh ummi Flora sendiri.
Melihat kakaknya datang membuat Agni langsung berjalan mendekat.
"Kak Dara dari mana aja? Kenapa kemarin gak pulang? Mama sama papa juga kelihatannya enggak khawatir kak Dara hilang," tanya Agni terus-menerus.
Ummi Flora dan mama Daun saling menatap. Bagaimana cara mengatakannya pada Agni? Bahwa Dara berencana untuk menjebak Avan untuk menikah dengannya dan tak jadi menikah dengan Agni.
"Agni, satu-satu dong tanyanya. Ayo duduk dulu, kak Dara akan cerita." Dara melirik ummi Flora dan mama Daun secara bergantian.
Dara baru saja selesai menelpon papa Ranting, begitu pun dengan lelaki di sebelahnya itu yang juga baru saja selesai menelpon keluarganya.
Dara melirik lelaki di sebelahnya. "Kenapa kamu enggak ngomong kalo kita gak ngapa-ngapain?"
"Saya bilang pun mereka gak akan percaya."
"Tapi kan kita bisa berusaha, kalau cuma saya yang bicara bagaimana mereka akan percaya?"
Lelaki itu menghela napas. "Kalau kamu tidak mau seperti ini, mengapa kamu menyeret saya untuk datang ke kamar?"
"Karena bukan kamu sasaran saya!"
"Lalu siapa? Avan?"
Dara terpaku mendengarnya. "Kamu kenal Avan dari mana?"