"Tuan, pulau ini sepi. Tidak seperti biasanya," seorang lelaki berkomentar mengenai hal yang dilihatnya.
"Ya, aku tahu. Kau tidak perlu mengatakannya."
"Maaf, Tuan. Saya hanya menyampaikan ...."
"Diam, kau tidak usah banyak bicara."
Percakapan itu terjadi di atas sebuah kapal yang terapung di lautan. Kapal yang mereka tumpangi hampir mendekati dermaga. Bukan kapal besar sebagaimana milik maskapai pemerintah Hindia Belanda. Kapal yang ditumpangi hanyalah kapal layar berukuran sedang dengan lambung yang ramping. Seluruh tubuh kapal dicat berwarna hitam bahkan tali dan layarnya pun hitam.
"Tuan, bahkan di benteng pun tidak ada lampu sebagai penerangan," seorang kelasi memberitahu dengan berbisik. Tubuhnya yang kecil terlihat begitu lincah berlarian, "Tuan, pulau ini sepertinya kosong."
"Belum tentu, bisa saja mereka menyambut kita dengan sebuah kejutan. Kita harus tetap berhati-hati."
Delapan awak lainnya mendayung dengan lambat. Mereka tidak ada yang berani bicara sebelum diperintah. Pemimpin kapal itu begitu tegas menerapkan aturan. Ini bukan waktunya untuk banyak bicara.
"Perhatikan, jika ada gerakan maka segera mundur dan menjauh dari bibir pantai."
"Baik, Tuan."
Kapal mengapung sambil terus menjaga jarak dengan bibir pantai. Kendaraan air itu pun mengitari pulau sampai dua kali putaran. Hingga akhirnya diputuskan untuk bersandar di dermaga.
Orang yang dipanggil "tuan" itu turun dari kapal dengan melompat. Wajahnya begitu datar, tidak mengekspresikan keceriaan atau pun kesedihan. Laki-laki berperawakan sedang yang dibalut kulit gelap karena sering terpapar sinar matahari. Berbaju cheongsam lusuh. Warna kain yang seharusnya merah lebih terlihat cokelat.
Kapten Win Feng, begitulah orang-orang mengenalnya. Bukan nama yang asing terdengar bagi warga Batavia. Meskipun sudah lama orang-orang di kota itu tidak melihatnya lagi. Karena, kini dia lebih sering berada di atas kapal yang terapung di laut lepas.
"Tuan, biar kami memeriksa terlebih dahulu bagaimana keadaan di sekitar pulau." Seorang pria bertubuh kurus menawarkan diri sambil menyeringai.
"Usulan yang bagus, lakukan!"
Semua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menyala.
"Tuan, bukankah biasanya di sini ramai oleh orang-orang yang akan berangkat haji?" laki-laki bertubuh tinggi bertanya keheranan.
"Iya, di sini tempat orang-orang yang akan berangkat ke Arab dikumpulkan."
"Tapi, sekarang mereka ke mana?"
Si Jangkung mengarahkan lentera ke arah pohon cemara udang yang tumbuh di dekat dermaga. Kemudian dia berjalan menyusuri jalan berbatu yang sengaja dibuat untuk mempermudah jalan menuju sebuah bangunan.
Cahaya lentera cukup untuk menerangi jalan yang dilalui. Hingga mereka mendekati sebuah bangunan permanen. Bangunan dua lantai dengan atap ditutupi genteng. Jika dilihat dari luar, bangunan itu tampak kokoh. Dibuat untuk bisa bertahan lama. Makanya, tiang-tiangnya pun terlihat tebal.
"Bangunan ini besar, tapi kenapa tidak ada satu orang pun yang menjaganya?"
"Ah, mungkin mereka ...."
Percakapan diantara kesepuluh pelaut itu berkisar tentang keheranan mereka. Apa yang mereka lihat hanyalah bangunan kosong tanpa penghuni. Seperti rumah yang ditinggalkan penghuninya karena suatu sebab.
"Tuan, tengok ke dalam ruangan ini," Si Jangkung memberi tahu pemimpinnya sambil mengarahkan lentera melalui jendela yang terbuka.
"Kosong ...."
"Hanya ada dipan-dipan ... mungkin tempat tidur."
"Aku juga berpikir begitu, kau tidak usah memberitahuku."
Ucapan ketus Tuan Win Feng cukup untuk mengingatkan Si Jangkung agar tidak merasa paling tahu. Padahal, semua anak buah kapal tahu jika pemimpinnya tidak suka apabila anak buahnya terkesan lebih tahu. Biar aku yang terlihat pintar di hadapan mereka.
"Tuan, coba tengok." Seorang anak buah berbadan gempal menunjukan sesuatu.
"Hei, sungguh menjijikan." Temannya bergidik ketika melihat yang membuat perutnya mual.
"Ah, ini hanya ... kepala manusia. Lagipula, darahnya sudah kering."
Semua mata tertuju pada sosok yang tergeletak di atas dipan. Tubuh tak bernyawa dengan penuh luka. Keadaannya sungguh mengerikan hingga wajahnya pun tidak bisa dikenali.
"Wajahnya pun sungguh tak jelas. Bagaimana kita bisa tahu siapa namanya."
"Iya, padahal jika kita bisa melihat wajahnya, mungkin dia ... orang terkaya di kampungku. Siapa tahu?"
Semua berpikiran sama. Karena kala itu orang-orang yang mampu berangkat menunaikan ibadah haji hanyalah orang-orang terpandang. Dan, para anak buah Tuan Win Feng berasal dari berbagai daerah. Mereka bisa saling bertemu karena alasan yang sama, menginginkan kekayaan.
"Sudahlah, biarkan saja dia di sini. Kita telusuri tempat ini," Tuan Win Feng memberi perintah.
"Baik, Tuan."
Lentera diarahkan ke dinding bangunan. Tembok-tembok dengan cat yang terkelupas di beberapa bagian. Warna putih berubah menjadi putih kusam. Jika siang hari, kusamnya dinding mungkin akan terlihat semakin jelas.
Karena saat itu gelap, tidak terlalu jelas bagaimana keadaan pasti gedung itu. Mereka yang hanya bisa membayangkan jika bangunan yang sedang disambangi sebagai tempat yang nyaman bila dibandingkan dengan kapal sempit yang mereka tempati. Sayang, bau amis darah merusak kenyamanan itu.
"Tuan Win Feng, coba tengok di sini," seseorang berteriak memberitahu.
"Ada apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...