Asih merunduk diantara akar beringin yang besar. Tubuhnya terhalang sehingga merasa aman. Sedangkan Panca tiarap di tanah yang penuh dengan daun kering berserakan.
"Kamu yakin jika ini adalah wilayah kekuasaan komplotan Win Feng?"
"Mungkin saja. Buktinya orang-orang itu menyerang kita." Asih bisa memberikan alasan kuat jika petunjuk darinya memang layak dipercaya.
"Dasar pemberontak," Panca bergumam.
Asih menoleh Panca. "Bagaimana bisa kau menyimpulkan jika mereka pemberontak?"
"Jika bukan pemberontak, lantas kenapa mereka bersembunyi di hutan?" Panca mendelik seraya bicara lantang.
"Mereka yang bersembunyi di hutan bukan berarti pemberontak."
Panca mengomentari pernyataan dari Asih, "Lalu, kenapa mereka membantai tokoh-tokoh masyarakat di Pulau Haji?"
Asih tidak bisa menjelaskan pertanyaan Panca. Gadis itu terlihat berpikir keras. Sedangkan Panca tidak melihat raut wajah Asih yang terheran-heran. Anak lelaki itu memilih untuk mendongak melihat gugusan awan di langit. Kemudian mengamati keadaan sekitar karena siapa tahu ada komplotan yang terus mengejar mereka berdua.
"Jadi, sebenarnya kau ... mendukung orang-orang Asing itu untuk menguasai negeri ini?" Asih bertanya sesuatu yang jarang terlontar dari mulutnya.
Panca mengerutkan alis matanya. "Sebelum aku lahir ke dunia, mereka sudah menjadi penguasa di Batavia."
Asih menatap Panca. "Panca ... e ... Raden Panca, pernahkah kau berpikir jika komplotan seperti perampok dan perompak itu sebenarnya ... benci pada ...."
Panca menatap Asih. Dia tertarik pada pernyataan temannya.
"Lupakan saja."
Dalam waktu lama, mereka berdua tidak berani untuk bergerak. Tidak berjalan lebih jauh dari pohon beringin besar yang menaungi keduanya. Terlalu bahaya jika menampakan diri di tengah daerah yang tidak mereka kenali. Hutan hujan dengan pohon-pohon yang lebat serta sulur-sulur yang menghalangi pandangan bisa memudahkan musuh menyergap mereka berdua.
Pendengaran Asih tidak menangkap sesuatu yang janggal. Hanya suara-suara binatang layaknya hutan yang sering ditapaki. Suasana hutan menjadi lebih nyaring oleh suara serangga yang bersahutan. Burung-burung pun berkicau seakan tidak ingin kehilangan pamor.
"Asih, kau pernah menjadi bagian dari mereka."
"Ya, lalu kenapa?"
"Sebenarnya, apa yang mereka inginkan?" Panca menelisik isi pikiran para komplotan yang tadi menyerangnya.
"Aku pernah mengatakan jika kami ... mereka hanya meminta hak mereka."
"Meminta dengan paksa."
"Jika itu tidak bisa diminta dengan cara baik-baik." Sebuah alasan yang terdengar masuk akal meskipun jelas melanggar hukum.
"Baiklah, anggap saja begitu. Aku hanya heran, kenapa harus membunuhi orang-orang yang tidak pernah merampas hak mereka."
Asih merasa sulit menahan isi kepalanya. Dia seakan mendapatkan kesempatan untuk memuntahkan hal yang sudah lama terpendam dalam pikirannya. "Karena mereka berpihak pada orang Asing ...."
Panca menoleh, "termasuk ayahku?"
Asih enggan memperpanjang obrolan. Gadis itu mengerti jika meneruskannya hanya akan mengundang pertengkaran yang tak perlu. Dia belajar banyak dari pengalamannya untuk tidak membicarakan suatu perkara di saat yang tidak tepat.
Asih lebih senang mengamati keadaan di sekitar. Mengamati ayunan seekor monyet yang melompat dari dahan ke dahan. Mengamati elang yang melayang jauh di atas kepala. Berlatarkan langit biru, burung elang itu terlihat berwarna hitam.
"Elang itu sebetulnya cokelat, tapi terlihat hitam dari kejauhan."
"Elang memang berwarna hitam. Aku pernah melihatnya terbang rendah di kampungku," Panca menyanggah pernyataan kawannya. "Dia mengincar anak ayam."
"Itu elang gunung. Sedangkan di atas kepala kita, itu elang laut."
"Aku pikir sama saja."
"Ah, aku lebih sering hidup di pinggir laut."
"Oh, jadi kau lebih tahu dibandingkan aku?"
Asih menatap tajam Panca. Meskipun orang yang ditatap tidak menghiraukannya.
"Kau ingin membuktikannya?"
"Ah, tidak juga. Aku lebih tertarik membuktikan perkiraanmu ... jika ayahku diculik oleh Win Feng."
Panca beranjak karena sudah bosan tiarap sambil terus memperhatikan keadaan. Dia berjalan ke arah barat bertentangan dengan arah bayangan tubuhnya. Terpaksa, Asih pun mengikuti rekannya berjalan untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka berdua pun berjalan beriringan sambil terus berharap memperoleh hasil apa yang telah mereka upayakan sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda kedatangan manusia atau apa pun yang bisa mengganggu perjalanan. Berarti, mereka berdua seharusnya tidak khawatir aka terjadi kemalangan.
Namun, mereka pun wajar merasa khawatir. Jikalau ada orang-orang jahat yang menunggu mereka.
"Hei, lihat di sana, ada asap."
"Mungkin mereka sedang membuat perapian."
Tentu saja Panca dan Asih bersikap lebih hati-hati. Mereka senang karena mendapat petunjuk sekaligus tegang karena ada kemungkinan ada orang-orang yang bisa saja menyerang. Ketakutan terbesar kedua anak remaja itu bukan pada binatang buas. Karena seekor badak yang mengamuk bisa pun dihindari.
"Jika benar itu komplotan Win Feng, apa yang harus kita lakukan?" Panca meminta pendapat.
"Memeriksa terlebih dahulu. Apa saja yang mereka persiapkan untuk kita."
"Maksudmu?"
"Ee, maksudku ... bisa saja mereka menyiapkan jebakan untuk kita."
Asih berjalan pelan. Diikuti Panca yang mengendap-endap.
Mereka semakin dekat dengan sumber asap. Semakin dekat asap itu dengan mereka berdua maka terlihat siapa saja yang berada dekat dengan perapian.
"Kau mengenal mereka?" Panca berbisik.
Asih menggelengkan kepala.
Beberapa saat mereka berdua mengamati keadaan hingga bisa mempertimbangkan tindakan apa selanjutnya. Asih meraba-raba tubuhnya. Sialan, sumpit milikku hilang.
Asih melihat dua orang laki-laki sedang mengasapi daging. Jika diperhatikan, tampaknya seekor ikan sedang dibakar dekat perapian.
"Kenapa, kalian ingin mencicipi?" Ada suara seseorang berbisik dari arah belakang, "mari bergabung."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...