51

40 12 0
                                    

Seorang Kapten Kapal Patroli sedang mengamati keadaan. Lautan di sekitarnya tenang, sebagaimana malam-malam sebelumnya. Cuaca masih menjadi sahabat bagi Teluk Batavia yang cenderung berombak jinak.

Laki-laki itu berdiri di geladak. Matanya tertuju ke arah cakrawala kemudian menatap ke langit gelap. Bintang-gemintang menghiasi malam. Cahaya kerlap-kerlip memperindah langit nan cerah.

"Kapten, ada sinyal dari arah pulau!" Seorang kelasi berteriak kencang dari arah haluan.

Tentu saja si Kapten Kapal mendekati kelasi itu. Matanya tertuju pada pulau utama yang gelap. Kemungkinan besar mereka menghadap sisi pulau yang tak berpenghuni. Tidak ada cahaya lampu kecuali kerlap-kerlip lampu memberi tanda.

"Itu sandi morse," kelasi tadi memberikan kesimpulan.

"Benar." Laki-laki berkumis pirang itu pun membenarkan pernyataan anak buahnya. "P ... E ... R ... O ... M ...."

"Perompak, Kapten!"

Mereka yang ada di kapal patroli bisa membaca sinyal yang disampaikan oleh seseorang di sisi pulau. Sinyal berupa cahaya kerlap-kerlip dengan interval berbeda. Entah siapa yang mengirim sinyal itu, belum ada yang bisa memastikan. Bagi pelaut, kiriman sinyal dari tempat yang jauh merupakan hal penting.

Sang Kapten Kapal masuk ke ruang kemudi. Dia memberikan perintah kepada nahkoda untuk mengarahkan kapal ke sumber sinyal.

"Ikuti sinyal dari lampu itu!"

"Siap, Kapten!"

Kapal pun melaju cepat ke arah daratan utama. Mesin menderu dengan keras. Baling-baling di belakang kamar mesin berputar lebih kencang dari sebelumnya. Asap keluar dari cerobong lebih pekat. Hanya saja kepekatan malam mengalahkan pekatnya asap yang membumbung ke langit.

Lambung kapal mengapung di air seakan tanpa beban. Air tersapu ke pinggir bersamaan dengan tekanan yang diberikan kapal berbahan logam itu. Gelombang terbelah menjadi bagian-bagian terkecil. Menepi kemudian bertemu kembali dengan gelombang lain yang menyambutnya.

Para kelasi bersemangat memburu perompak. Sekelompok orang yang suka membuat onar di lautan, mengganggu kenyamanan para pelaut yang melintas di Teluk Batavia.

Tuuut! Suara klakson kapal memekakan telinga. Lampu menyoroti sekitar perairan yang gelap.

Untuk sesaat, tidak ada apa pun yang mencurigakan. Perairan terlihat tenang. Kapal masih melaju dengan kemampuan terbaiknya.

"Kapten, belum terlihat tanda-tanda keberadaan mereka," seorang nahkoda memberi komentar.

"Terus saja melaju, aku yakin mereka belum jauh."

Kapten Kapal memegang teleskop. Dia hendak menggunakannya tetapi urung dilakukan. Lautan masih terlampau gelap. Dia harus bersabar untuk mendapatkan buruannya.

Berburu kapal perompak harus menggunakan perhitungan berdasarkan pengalaman. Mereka yang diburu bisa jadi lebih memahami keadaan lautan di sekitarnya dibandingkan para pelaut Pemerintah. Perompak-perompak itu biasanya adalah sekelompok orang lokal yang sudah mengarungi lautan di sana sejak mereka terlahir ke dunia. Sedangkan para kru kapal di Kapal Patroli itu hanyalah orang-orang baru yang sengaja ditugaskan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga lautan yang belum dikenal.

"Kapten, di depan ada pulau kecil, mungkinkah mereka bersembunyi di sana," nahkoda melihat siluet terhampar diantara pantulan cahaya di perairan.

"Kita periksa saja, mungkin sekali mereka bersembunyi."

Sesungguhnya Sang Kapten Kapal tidak terlalu yakin dengan apa yang dia lihat. Ketika lampu menyoroti pantai, tidak tampak tanda-tanda jika perompak ada di sana. Pulau itu terlalu kecil untuk dijadikan tempat bersembunyi.

Hanya ada karang yang timbul ke permukaan. Di bagian tengah terbentuk sebuah laguna kecil dengan air yang lebih tenang dibandingkan perairan luas di sekitarnya. Sepasang burung camar sedang bermalam menanti fajar menyingsing. Mereka merasa terganggu dengan kedatangan benda raksasa yang menyorotkan lampu begitu terang. Mata si burung memantulkan cahaya lampu sehingga matanya terlihat biru.

"Kita putar kemudi!" Sang Kapten memberikan perintah. "Kembali ke Pelabuhan sebelum fajar."

Si Kapten mulai putus asa. Dia tidak percaya lagi pada informasi dari seseorang yang mengirim sinyal di pulau utama. Mungkinkah mereka menipuku!

Tentu saja sang nahkoda mematuhi perintah atasannya. Dia memutar kemudi sembari menambah kecepatan. Seakan sebuah pekerjaan yang sia-sia karena berlayar terlalu jauh tanpa membuahkan hasil yang diharapkan.

"Polisi-polisi itu sepertinya salah perkiraan," sang nahkoda bicara sekenanya.

"Mungkin saja. Mereka hanya melihat kapal siluman yang melintas di depan mereka tanpa sempat memastikan sebenarnya apakah itu kapal perompak atau bukan."

"Lautan terlalu gelap untuk memastikan apa yang tengah terjadi."

"Kita pulang dengan tangan hampa, lagi."

Sang Kapten menghela nafas panjang. Semula dia mengira jika pencariannya selama berhari-hari akan membuahkan hasil. Dia mengira jika malam itu bukan lagi malam yang nihil sebagaimana malam-malam sebelumnya. Sayang, perkiraan dia tidak sepenuhnya benar.

"Padahal, aku yakin jika komplotan Win Feng tertangkap malam ini ... akan menjadi berita besar di Batavia."

"Kita akan memperoleh banyak pujian, Kapten."

"Ya, setidaknya ada hal yang bisa kubanggakan di depan calon mertuaku. Jika terus begini, seharusnya kita malu karena kapal ini terus memboroskan biaya pengamanan."

Si nahkoda tertawa. Kedua tangannya sibuk memegang kemudi sedangkan matanya tertuju ke depan ke arah haluan kapal yang lancip.

"Kau tahu, mungkin saja malam ini adalah malam terakhir aku bertugas di kapal ini. Atasanku, mungkin akan memindahkan tugasku ke tempat lain."

"Kapten, kenapa bicara demikian?"

"Mereka memberiku tenggat waktu hingga besok. Jika aku belum bisa menangkap komplotan Win Feng maka ... mereka akan memindahkan aku ke Surabaya." Si Kapten memasang wajah sedih. "Kemungkinan aku akan menikah di Surabaya atau melakukannya di Batavia sebelum dipindahkan ke sana."

Sebuah percakapan ringan antara atasan dan bawahan. Bukan hal lumrah jika seorang pemimpin berkeluh kesah kepada anak buahnya. Tetapi, percakapan itu berlangsung karena menganggap si kapten merasa gagal mengemban tugas dari Kesatuan tempatnya bekerja. Kebanggaan sebagai pelaut sedikit rontok karena gagal menangkap komplotan perompak.

Lautan tenang. Semburat cahaya mulai terlihat di ufuk timur. Fajar menyingsing pertanda pagi segera tiba.

Sebuah keadaan yang menenangkan. Sekaligus mendebarkan bagi sang kapten. Dia akan menghadap atasannya di daratan dengan kepala tertunduk lesu.

"Kapten! Kapten!" Seorang kelasi berlari ke arah ruang kemudi. Tubuhnya kecil bila dibandingkan temannya. Wajahnya masih terlihat sebagai remaja tanggung yang tersesat sebagai kru kapal.

"Ada apa?"

"Ada perompak!"

"Kau yakin? Bukan lamunanmu saja?"

"Yakin, Kapten."

"Kalau salah, aku akan membuang tubuhmu ke laut."

"Saya yakin, Tuan. Ciri-ciri kapal sama persis yang disampaikan para nelayan."

"Ah, itu kan penglihatanmu saja."

Sang Kapten kapal meyakinkan diri dengan meraih teleskop. Dia menunggu hingga beberapa menit. Cahaya fajar yang menyembul dari balik cakrawala memperjelas bentuk kapal yang dimaksud.

"Ya, mereka komplotan Win Feng."

Kelasi bertubuh kecil tersenyum. Ah, aku tidak jadi dibuang ke laut.

"Alihkan kemudi ke arah barat! Berputar haluan!"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang