10

44 11 0
                                    

"Buka pintunya!" seseorang berteriak dari luar kamar.

Tentu saja Panca enggan membuka pintu. Begitupula dengan jendela yang sudah terkunci rapat.

"Ah, kemana petugas keamanan? Mengapa mereka ada di sini?" Tuan Frans gusar dengan keadaan.

"Tuan, sebaiknya kita bersembunyi," Panca memberi usul.

Pintu terus dipukul hingga membuat Panca ketakutan. Anak remaja itu teringat bagaimana wajah kedua orang yang berada di luar begitu menyeramkan.

"Ah, bersembunyi di mana ...?"

Panca pun sebenarnya kebingungan. Ketika dia mengajak untuk bersembunyi, belum terpikirkan hendak bersembunyi di mana.

Dar dar dar!

Suara pintu dipukul terdengar semakin keras. Tuan Frans pun terlihat sama-sama kebingungan sekaligus ketakutan.

Panca melihat ke sekeliling. Dinding berwarna putih nan kusam tidak memberi pengetahuan apa pun untuk menyelamatkan diri. Mereka harus berpikir cepat ketika engsel pintu lambat laun mulai terbuka.

"Di mana pintu belakang?"

"Di sini tidak ada pintu belakang."

"Sialan."

Kamar hotel itu memang tidak memiliki pintu belakang. Dinding bagian belakang berbatasan langsung dengan kamar lainnya. Satu-satunya jalan untuk masuk dan keluar dari kamar itu adalah pintu yang sedang digedor-gedor dengan keras.

"Tidak ada cara lain, Tuan."

"Kau mau melawan mereka? Ah, kenapa pekerjaanku selalu mengundang bahaya."

Panca memegang kepala golok yang selalu bersarung di pinggang. Matanya melirik ke arah Tuan Frans, laki-laki itu tidak memegang senjata.

"Pisauku ada di tas yang dicuri."

"Tas anda dicuri? Kapan?"

"Ah, tadi siang. Ketika tidur di penginapan sekitar Pecinan."

Terlintas dalam pikiran Panca peristiwa pencurian tadi siang. Namun, pikiran akan hal itu hilang setelah teralihkan oleh pintu yang terbuka.

Brak!

"Hei, ternyata kalian di sini!"

Dua orang berpakaian serba hitam telah menghunus golok. Wajahnya penuh dengan cambang dan janggut yang lebat. Kulit mereka begitu gelap seakan tidak pernah tersentuh air dan terlalu sering terpapar sinar matahari.

"Kau Frans? Serahkan foto-foto itu!" salah seorang dari mereka yang datang langsung menyampaikan maksudnya.

"Foto apa?" Tuan Frans tidak mengerti maksud hal yang ditanyakan.

"Hei, kau tidak usah berpura-pura tidak tahu. Kau yang memotret peristiwa di Pulau Haji. Kami tahu. Kau jangan berpikir jika kami orang bodoh?"

Panca mulai mengerti kenapa kedua orang ini mencari Tuan Frans. Bahkan, anak remaja itu yakin jika dua orang di depannya adalah perusak kantor Koran Batavia.

"Aku tidak memegang foto-foto itu. Aku bersumpah, tidak berbohong."

"Aku juga bersumpah, tidak percaya pada kata-katamu!"

Kedua orang itu melirik pada Panca yang sudah siap dengan goloknya. Anak itu seakan menantang untuk bertarung walaupun sebenarnya nyali Panca tidak sebesar itu. Dia hanya bersiap-siap.

"Cari semua sudut kamar ini!"

Seorang dari mereka berjalan ke arah meja kecil di sudut kamar. Kemudian tangannya meraih pintu rak. Kosong, tidak ada apa pun.

Seorang lagi, berjalan ke arah gantungan pakaian. Jas milik Tuan Frans digeledah. Nihil.

"Kau menyembunyikannya?"

Tuan Frans menggelengkan kepala.

"Katakan, di mana foto-foto itu? Atau, kalian ... mati ...."

Panca menoleh pada Tuan Frans. Bulir-bulir keringat mulai keluar dari pori-pori kulitnya yang putih kecokelatan. Meskipun wajah Eropa itu tidak hilang tetapi sinar matahari Batavia yang membakar sanggup membuat kulitnya menjadi lebih gelap.

"Tenang, kita bisa bicarakan perkara ini," Tuan Frans mencoba bernegosiasi dengan kedua penyusup.

"Ah, kami tidak ingin ada tawar-menawar. Serahkan foto itu, maka kau akan selamat."

"Maksudku, kalian bisa mencari benda itu di suatu tempat. Tapi, bukan di sini, aku sungguh tidak memilikinya."

"Jika begitu, berarti kau memilih mati."

"Hei, lagipula ... apa kepentingan kalian dengan foto-foto itu?"

"Kau tidak perlu tahu akan hal itu. Hal yang perlu kau tahu, jika kami menginginkan foto-foto itu."

Kemeja putih Tuan Frans semakin basah oleh keringat. Pria itu sepertinya belum terbiasa menghadapi keadaan menegangkan seperti saat ini. Dia bukan tipe petarung. Sungguh pria yang tidak terlatih untuk menghadapi bahaya.

"Geledah dia!"

"Jangan mendekat, berani mendekat ...," Panca bermaksud memberikan ancaman meskipun dia sendiri ragu akan apa yang dikatakannya.

"Aku tidak takut padamu, anak kecil." Salah seorang dari penyusup itu bergerak maju ke arah Tuan Frans.

Pria Eropa itu mundur. Panca pun demikian. Mereka berdua merapat ke dinding.

Golok diarahkan ke wajah Tuan Frans. Dia tidak berkutik. Hanya diam tanpa melakukan perlawanan ataupun bersiap untuk melarikan diri. Mungkin dia bermaksud menunjukan pada kedua orang itu kalau foto-foto yang dimaksud tidak ada padanya.

Namun, kedua orang itu bukan tipe manusia yang penuh belas kasihan. Mata golok yang tajam mengenai leher, hampir saja mengiris kulitnya yang terang.

Tangan laki-laki itu meraba-raba seluruh tubuh Tuan Frans. Dia tidak menemukan benda yang dimaksud.

"Jadi, aku boleh pergi?"

"Apa? Tidak semudah itu kau pergi."

"Lantas?"

"Kau harus mati ...."

Darah Panca berdesir ketika mendengar suara menggeram dari si pengancam.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang