"Tuan Frans, kau pikir ini perkara mudah?"
"Saya tidak pernah bicara demikian." Tuan Frans masih belum merasakan sikap bersahabat dari Inspektur Pieter. "Hanya saja, saya berpikir jika menggunakan perahu bisa terlalu mudah diperhatikan. Bukankah menggunakan jalan darat bisa banyak cara untuk berkamuflase?"
"Kau begitu yakin dengan lokasi yang disampaikan Nyonya Win Feng."
"Ya, di sini disebutkan sebuah tempat di daratan, bukan di lautan."
"Hei, kau pikir petunjuk dari wanita itu bisa menjadi sesuatu yang pasti? Kami menganggap petunjuk hanya sebagai opsi bukan kepastian."
Para polisi terlihat sibuk mempersiapkan senjata dan perahu yang bisa digunakan untuk penyergapan. Tidak kurang dari tiga puluh anggota Kepolisian Batavia berseliweran di dermaga. Peristiwa itu membuat warga terheran-heran karena pemandangan demikian langka terjadi.
Tuan Frans menulis beberapa hal yang dianggap penting. Mencari hal-hal unik sebagai bahan untuk tulisan di koran. Sedangkan Inspektur Pieter lebih sibuk mengatur anak buahnya.
"Setahu saya, hutan di sekitar Batavia bagian barat begitu lebat."
"Itu juga alasan kami menggunakan jalur laut," Inspektur Pieter memberikan penjelasan.
"Jalur darat bisa memperlambat?"
Sang komandan polisi mengangkat alis pertanda setuju pada pernyataan lawan bicaranya. Walaupun, si polisi lebih suka jika wartawan itu tidak banyak bertanya. Ikuti saja arahan dariku, kau tidak berhak bicara. Tapi, mereka sudah terikat perjanjian, sang wartawan diperbolehkan meliput penyergapan.
"Tuan Pieter, saya berharap anda bersiap dengan resiko yang akan dihadapi," Sang Komandan bicara sambil melompat ke atas perahu. "Semua tanggung sendiri ... dan jangan menyalahkan polisi."
Tuan Frans menjadi orang terakhir yang naik ke atas perahu. Perahu ukuran kecil dengan penumpang hanya cukup untuk enam orang saja. Perahu itu biasa digunakan warga untuk menyusuri sungai-sungai di Batavia. Kali ini, sepasukan anggota Kepolisian Batavia menggunakannya untuk menyusuri pantai yang membentang di Teluk Batavia.
Ada tujuh perahu yang digunakan. Seorang warga bertugas sebagai pendayung sekaligus mengendalikan laju perahu. Mereka bertindak sebagai pengendali sekaligus pemilik perahu. Setiap pemilik diberi uang sewa seadanya. Mereka tidak bisa menolak karena anggota Kepolisian yang meminta.
"Tuan, bukankah ada kapal patroli yang berukuran lebih besar?"
"Jika menggunakan kapal, kita bisa kesulitan menyusuri sungai. Andaikan itu harus dilakukan." Inspektur Pieter menjelaskan dengan nada penuh keengganan ada Tuan Frans.
Selanjutnya, tidak ada obrolan apa pun. Semua mata tertuju pada hutan bakau yang ada di depan mata. Berharap ada tanda-tanda keberadaan komplotan yang mencurigakan.
Lautan bergelombang sedang saja. Tidak ada tanda-tanda akan turun badai atau sekedar angin kencang. Ikan-ikan di dasar air sesekali terlihat mengibaskan siripnya yang berwarna-warni.
Momen-momen indah demikian tidak lepas dari jepretan kamera Sang Wartawan. Tuan Frans senantiasa siap dengan "peralatan tempur" bagi seorang pemburu berita. Pulau-pulau kecil yang tampak dari kejauhan menjadi hiasan diantara lautan yang datar. Itu pun tidak lepas dari jepretan kameranya.
"Apakah gambarnya akan bagus? Anda memotret dengan perahu yang bergoyang."
"Saya harap bisa bagus, Tuan Inspektur."
"Jangan lupa, kami pun dipotret. Biar orang-orang di Istana Negara tahu jika kami pun bekerja."
"Itu sudah saya lakukan dari tadi, Tuan."
Inspektur Pieter mengangkat alis. Dia terlihat senang melihat si wartawan memiliki peran, cukup penting. Adakalanya kejenuhan kerja diisi oleh celotehan dari para anggota polisi yang tidak bisa menyembunyikan rasa lelah di wajahnya.
Kulit para anggota pasukan yang cenderung gelap semakin terlihat gelap karena cahaya matahari yang membentuk bayangan. Hari sudah petang, tetapi mereka belum juga menemukan apa yang dicari. Komandan pasukan pun menjadi gusar dengan keadaan yang tidak memihak padanya.
"Jika dihitung dari muara sungai tadi, apakah lokasi yang kita cari masih terhitung jauh?"
"Tentu saja, untuk itu kita menempuh jalur laut."
"Tuan Inspektur, saya belum pernah mengunjungi tempat ini."
"Aku sudah beberapa kali. Jika dilihat di peta, jaraknya dekat. Tapi, dalam kenyataannya terasa jauh."
"Dari tadi, hanya pohon-pohon yang kita lihat."
"Lantas, apa yang ingin anda lihat? Pertempuran?"
Tuan Frans memalingkan wajah. Dia tahu jika lawan bicaranya mudah gusar dan tersinggung. Dia lebih suka menikmati suasana senja. Menyaksikan laut yang menguning disinari mentari. Benda langit itu tenggelam sebagian. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit hingga tenggelam seluruhnya.
"Sebentar lagi, hari akan gelap. Persiapkan lentera." Inspektur Pieter memberikan arahan. Kemudian dia menoleh kepada Tuan Frans, "bagaimana Tuan, anda siap meneruskan perjalanan?"
"Tentu saja, Tuan."
"Jika terjadi hal yang tidak dikehendaki, saya harus menghubungi siapa?"
"Maksudnya? Jika saya mati?"
"Jika itu terjadi kepada kami, maka teman kami tahu harus menghubungi siapa. Kalau itu terjadi pada anda? Apakah anda memiliki keluarga di Batavia?"
"Anda mendo'akan saya mati."
"Bukan begitu, ini sudah prosedur."
"Andaikan saya sudah tak bernyawa, hubungi saja kantor Koran Batavia."
Dengan rahang yang terkesan tegas, Sang Komandan polisi itu lebih suka mengarahkan pandangan ke cakrawala. Dia siap menerima kegelapan. Ketika itu terjadi, maka kesulitan bertambah karena penglihatan sulit menentukan mana lawan dan mana kawan.
Dalam hitungan detik, gelap pun tiba. Maka lentera sudah harus dinyalakan.
Tuan Frans merasakan nuansa berbeda. Keadaan lebih mencekam dari sebelumnya. Andaikan ada seseorang menembak atau melemparkan lembing maka tidak ada seorang pun yang sanggup melihat.
"Hati-hati, kegelapan memiliki resiko lebih tinggi bagi keselamatan."
Inspektur polisi itu meningkatkan konsentrasi. Kesiapsiagaan pun meningkat. Senjata di tangan dipegang lebih rekat.
"Tuan Inspektur, kami melihat cahaya!" Seorang anggota dari perahu lain berteriak.
"Ikuti sumber cahaya! Mungkin komplotan itu sedang membuat perapian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Mystery / ThrillerSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...