Alih-alih bisa mengobati kerinduan seorang anak kepada ayahnya, pertemuan Panca dan Raden Bakti menjadi momen yang penuh kesedihan. Laki-laki itu didapati penuh dengan luka yang belum mengering.
"Tuan Win Feng telah menolong Ayah, Nak."
"Menolong Ayah?" Panca heran dengan ucapan Raden Bakti. Anak remaja itu menoleh kepada Tuan Win Feng. Orang yang dilihat mengangkat alis.
"Dia yang membawaku ke sini kemudian merawatku."
"Dia bermaksud jahat, dia memanfaatkan Ayah untuk menangkapku!"
Raden Bakti sedikit bingung. Hal yang dikatakan anaknya tidak bisa dimengerti.
"Menangkapmu? Kenapa kau ditangkap?" Raden Bakti baru menyadari maksud Panca setelah dia melihat anaknya diikat ke tiang layar.
Raden Bakti semakin terlihat kebingungan. Dia menoleh kepada sang Kapten Kapal, Tuan Win Feng. "Apa maksudnya, Tuan? Kenapa kau mengikat anakku? Sebaiknya anda lepaskan, karena saya yakin dia tidak bermaksud jahat."
Raden Bakti mendekati Panca. Tangannya yang penuh luka bermaksud melepaskan ikatan yang membelenggu anaknya. Tapi, hal itu urung dilakukan. Tuan Win Feng melarang ikatan itu dibuka.
"Kenapa? Kenapa anak saya ...?"
"Karena dia ... yang telah membuatku begini."
"Maksudnya?"
"Anak ini dan temannya, Asih, meninggalkanku di pulau terpencil ... hingga aku terpaksa menjadi manusia tidak bertuan."
Raden Bakti menoleh kepada anaknya. "Benarkah itu?"
Panca terdiam.
"Sungguh, aku tidak mengerti. Kapan semua itu terjadi?"
Raden Bakti tidak segera mendapatkan jawaban. Laki-laki itu menoleh kepada anaknya kemudian beralih kepada Tuan Win Feng. Dia pun mencoba mengamati keadaan sekitar serta orang-orang yang berdiri di geladak.
"Raden Bakti, beberapa bulan lalu, anakmu pernah belajar menjadi perompak. Sama seperti aku."
"Menjadi perompak?" Raden Bakti kaget. Panca yang ditanya hanya terdiam.
"Dia, meninggalkanku sendirian di sebuah pulau tak berpenghuni." Tuan Win Feng memandang langit malam yang penuh bintang. "Hingga akhirnya, aku bisa menghimpun kekuatan bersama orang-orang yang bisa kuandalkan."
Panca terdiam. Dia tidak mau membuat ayahnya semakin bingung. Anak itu sadar jika banyak kejadian di Batavia yang tidak diceritakan kepada ayahnya, termasuk persoalan dia dengan lelaki Cina pemilik kapal. Panca terus berpikir bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
Laki-laki ini licik, dari dahulu hingga sekarang. Aku tidak boleh terjebak dalam permainannya.
Panca perlahan menyadari jika Tuan Win Feng sedang menjalankan sebuah permainan. Dia sangat lihai bersandiwara. Hal itu pula yang memperdaya ayahnya sehingga tidak menyadari jika dia dimanfaatkan.
"Ayah, katakan padaku ... apakah orang itu yang telah membantai orang-orang di Pulau Haji?"
"Kenapa kau menanyakan itu. Bukan dia yang melakukan pembantaian," Raden Bakti bicara lirih.
"Lantas, siapa?"
Raden Bakti tertunduk lesu. "Nanti ayah akan menceritakannya kepadamu. Sekarang, jawablah pertanyaan ayahmu ini, apakah kau benar-benar ingin menjadi perompak?"
"Ayah benar-benar percaya orang ini setelah Ayah melihat sendiri apa yang dia lakukan kepadaku?"
Raden Bakti terdiam.
"Orang ini penjahat. Dia dicari-cari oleh polisi dan Pemerintah di Batavia. Bahkan dia meninggalkan anak dan istrinya karena dia ... pengecut. Dia tidak mau menghadapi keadaan. Dia malah kabur setelah tahu orang-orang mencarinya."
"Jaga mulutmu, bocah tengik!" Tuan Win Feng naik pitam.
Panca tidak menghiraukan bentakan itu. "Dia pencuri. Sejak saya mengenalnya, laki-laki itu memang pencuri. Dia berbuat kriminal sehingga dia sendiri harus mendapatkan balasan atas apa yang diperbuatnya."
Raden Bakti menoleh pada Tuan Win Feng.
"Tuan, saya mohon lepaskan anak saya. Jika kau memiliki dendam pada anak ini, kenapa tidak kau timpakan saja kepadaku?" Raden Bakti mengiba.
"Ayah, jangan memohon pada bajingan ini. Dia tidak akan menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu dilakukan. Hanya uang yang bisa membujuknya ...."
Plak, sekali lagi pipi Panca ditampar. Tuan Win Feng semakin marah.
Wajah laki-laki Cina itu terlihat semakin jelas karena lentera yang digantung di tiang layar menyinari wajahnya. Terlihat kulitnya yang semakin gelap hampir sama dengan kulit Panca yang sejak lahir memang gelap.
"Aku, menginginkanmu ke sini bukan untuk membuatku naik darah."
"Lantas, kau akan membunuhku?"
"Ya, tentu saja. Aku ingin membunuhmu."
"Seperti kau membunuh orang-orang di Pulau Haji?'
"Hei, sudah aku katakan, aku tidak membunuh mereka. Entah siapa yang membunuh mereka! Tanyakan kepada ayahmu!"
"Tapi kau senang, karena dengan begitu warga pribumi akan membenci Pemerintah atau diantara mereka akan terjadi pertikaian. Dan, kau mengambil kesempatan itu untuk memetik keuntungan. Itu yang kau inginkan!"
Tuan Win Feng menatap tajam Panca. Dia seakan mengakui prasangka anak itu terhadapnya.
"Kau, sangat mengharapkan Batavia menjadi genting. Terjadi huru-hara di mana-mana. Lalu, kau mencuri harta mereka di saat mereka dalam kemalangan?"
Sekali lagi, Tuan Win Feng merasa ditusuk oleh tombak karena perkataan anak itu. Dia heran kenapa Panca bisa menyelami isi pikirannya.
"Aku tahu itu, dari ... orang-orang dekatmu. Mereka sudah bisa mencium gelagat buruk dari Tragedi di Pulau Haji. Mereka cemas karena namamu selalu disebut-sebut. Mereka bukan cemas karena kau akan ditangkap dan dipenjara. Mereka cemas kau membuat hidup mereka merana karena ... Pemerintah menganggap orang Cina sebagai pembuat onar."
"Tutup mulutmu!"
"Diam-diam orang-orang membencimu karena telah merugikan mereka!"
Tuan Win Feng semakin terpancing amarahnya. Panca seakan tahu apa hal bisa mengundang kemarahan laki-laki berbaju cheongsam itu. Panca tahu jika Win Feng yang dikenal sebagai perompak memang sudah tidak diharapkan lagi kehadirannya di Batavia. Sekaligus, itulah yang membuat laki-laki itu sakit hati. Dia dikucilkan dari suku bangsanya sendiri.
"Masukan dia ke dalam lambung kapal!" Sang Kapten Kapal memberi perintah.
Namun, perintah itu urung dilaksanakan setelah terjadi sesuatu.
Ada seseorang berteriak dari arah laut. Teriakan itu disertai kerlap-kerlip lentera laksana kunang-kunang di pekarangan. Bergerak-gerak meminta perhatian.
"Angkat tangan! Kalian sudah terkepung!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Gizem / GerilimSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...