17

50 10 0
                                        

"Ya Alloh, ini mengerikan." Asih memejamkan mata.

Foto-foto itu masih berwarna hitam putih. Namun, gambarnya cukup jelas untuk membedakan wajah siapa yang terpampang.

"Aku memotretnya dengan cahaya yang cukup. Cukup jelas bagaimana wajah mereka yang menyedihkan." Tuan Frans menunjukan salah satu foto.

Panca memperhatikan lembaran demi lembaran foto yang ada di tangannya. Namun, dia tidak menemukan wajah yang dicarinya. Yakni, wajah ayahnya.

Panca mengarahkan pandangan ke laut lepas. Dia memikirkan bagaimana nasib ayahnya ketika tidak diketahui ke mana rimbanya. Anak remaja itu mulai berpikir jika orang yang dikasihinya terapung di lautan dan terdampar entah di suatu pulau. Atau, jasadnya sudah dimakan hiu lapar yang bergairah ketika mencium bau darah.

"Raden, periksa sekali lagi."

"Aku sudah memeriksanya berulang kali."

"Mungkin karena wajahnya sulit dikenali," Asih berkesimpulan kenapa Panca sulit menemukan ayahnya di foto.

"Wajahnya masih bisa dikenali. Meskipun luka menganga di banyak bagian tubuh lainnya."

"Ah, aku tidak berani melihatnya. Keadaan mereka begitu menyedihkan."

Panca kembali menatap ke arah foto-foto di tangannya. Kembali memeriksa satu per satu.

"Ada satu foto terpisah, dimana wajahnya sudah tidak bisa dikenali," Tuan Frans menunjuk salah satu foto.

"Ya, foto ini kan?"

Gambar orang di lembaran foto itu sungguh menyedihkan. Andaikan warna darah tidak menjadi hitam _karena foto masih monokrom_ maka merah darah mendominasi sekujur tubuhnya. Selain wajah yang sulit dikenali, bagian dada dan perut pun sulit dikenali karena begitu banyaknya sayatan di kulit.

"Jika dilihat dari bentuk tubuhnya, ini bukan ayah saya. Orang di foto ini cenderung berdada bidang dengan sedikit lemak di balik kulit. Sedangkan ayah saya bertubuh kecil dan cenderung kurus," Panca menjelaskan.

"Ya, begitulah Raden Bakti yang saya kenal." Asih menopang dagu sambil memasang wajah sedih.

"Lalu, orang ini ... siapa ya?" Tuan Frans mencoba menyelidik.

Panca menatap Tuan Frans dan Asih. Dia membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi. Kejadian yang bisa saja melibatkan ayahnya. Walaupun, sekuat hati dia menolak anggapan demikian. Ayahku tidak bersalah, begitulah yang terpatri dalam pikiran.

Hingga detik itu, Panca mendapati kebuntuan untuk menemukan cara demi membuktikan jika ayahnya tidak bersalah. Anak remaja itu tidak memiliki bukti atau apa pun untuk menyanggah polisi yang telah menetapkan Raden Bakti sebagai tersangka.

"Apakah mungkin polisi sudah menemukan ayah saya?" Panca bertanya pada Tuan Frans.

"Belum. Sebelum aku berangkat, tidak ada  kabar tentang itu dari Kantor Polisi."

Panca menghela nafas. Kemudian, dia menatap ke arah Asih.

"Aku tidak tahu apa pun tentang hal ini." Asih mengerti tatapan dari Panca.

"Benarkah? Tidakkah kau mendapat desas-desus tentang peristiwa itu?"

Asih menggelengkan kepala.

"Kau mengenali kelompok-kelompok ...."

"Tapi aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Meskipun mereka tampak jahat, aku ragu jika gerombolan perampok bisa membantai orang begitu sadis."

"Kenapa?"

"Ah, aku merasa ditanyai oleh polisi!" Asih berteriak. "Begini, kami _para pencuri_ benar-benar tertuju untuk mengambil harta. Bukan nyawa."

"Kan, itu bisa saja?"

"Karena membunuh bisa menghabiskan tenaga. Dan, meninggalkan jejak."

Tuan Frans mengangguk pelan. Pria itu tidak banyak bertanya. Dia lihai dalam menggali informasi tanpa harus mengarahkan orang yang ditanyai.

"Jejak. Seharusnya itu yang dicari. Walaupun itu sulit."

"Jejak. Itu tidak ada di Pulau Haji."

Tuan Frans menghela nafas. Tangan kiri laki-laki itu menepuk punggung Panca. Kau harus tegar, anak muda.

Mereka bertiga menutup percakapan. Berusaha menikmati suasana laut yang tenang. Belum ada kapal yang berlayar di sekitar mereka. Hanya titik dari kejauhan. Biasanya itu sebagai permulaan tiang layar atau bendera dari kapal yang masih jauh dari pandangan.

Ketika melihat ke bawah, beberapa ekor ikan menyapa. Siripnya yang berwarna-warni menjadi penghibur lara yang menerpa. Tubuh mereka bergoyang-goyang tepat di bawah lambung sampan tanpa cat. Warna kayu seadanya ternyata mampu menggoda ikan-ikan itu untuk mendekat.

"Menurutku, orang yang wajahnya dirusak itu ... patut dicurigai," Tuan Frans kembali membuka obrolan.

"Kenapa, Tuan?" Asih bertanya keheranan.

"Aku berpikir jika orang dengan wajah yang dirusak itu ... tahu sesuatu. Makanya, agar polisi tidak punya petunjuk apa pun, maka wajah orang itu dirusak."

"Ya, saya mengerti."

"Berarti jika tahu identitas orang itu ... polisi bisa mengetahui latar belakang peristiwa di Pulau Haji."

Mereka bertiga saling lirik. Tentu saja Tuan Frans menjadi orang yang paling berkepentingan dengan peristiwa yang telah terjadi. Dia sangat ingin mengetahui kenapa pembantaian itu bisa terjadi?

Tuan Frans memiliki catatan tentang siapa saja nama-nama orang yang menghuni Pulau Haji. Setidaknya, pada hari kejadian.

Laki-laki itu membuka buku yang sering dibawanya ke mana pun pergi. Sebuah buku catatan dengan sampul kulit warna cokelat. Karena sifatnya yang sekedar catatan, banyak sekali coretan tak beraturan tertera di lembaran kertas beberapa halaman.

"Tuan mencari catatan ....?"

"Aku punya catatan nama orang-orang yang menjadi penghuni Pulau Haji. Ada penghuni tetap, seperti petugas jaga. Ada juga penghuni yang hanya singgah, seperti calon jemaah haji."

Tuan Frans terus membuka halaman demi halaman. Dia terlihat tegang. Mungkin karena terlalu bersemangat.

"Nah, ini!"

Panca dan Asih memperhatikan.

"Ada 25 orang calon jemaah haji dan tujuh petugas. Tiga orang juru masak."

"Cek calon jemaah haji. Karena dia orang pribumi."

"Ya, tapi ada 25 kemungkinan ... 24. Setelah dikurangi Raden Bakti."

Tuan Frans menggelengkan kepala. Buntu.

"Tuan, adakah jamaah dari Banten?"

Wartawan itu melirik Asih.

"Daerah Banten paling sering memberontak."

"Ya, aku mengerti. Koran Batavia pun pernah menulis berita tentang pemberontakan di sana."

Tuan Frans tersenyum.

"Siapa namanya?"

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang