15

44 7 0
                                    

"Sekarang, di mana orang-orang yang mengikuti Tuan?"

"Di belakang kita," Tuan Frans berbisik kepada Panca.

"Di sini begitu banyak orang, orang yang mana?"

"Entahlah. Aku sulit menunjukannya padamu. Tapi, kau bisa merasakannya jika ada orang yang ... ingin mencelakaimu."

Panca sulit mencerna perkataan Tuan Frans. Bagaimana merasakan jika ada orang yang hendak mencelakai kita?

Angin laut menerpa wajah anak remaja itu. Rambutnya yang sedikit keluar dari penutup kepala berayun tertiup angin. Setelah beberapa saat menatap lautan luas dan tanpa harapan, kini harapan itu muncul kembali ketika Tuan Frans bersedia menunjukan foto-foto peristiwa di Pulau Haji.

"Kita harus mencari perahu untuk pergi ke pulau itu," Tuan Frans mengarahkan pandangan pada jejeran perahu nelayan yang sedang bersandar di dermaga.

"Mereka tidak mau menyewakan perahu untuk pergi ke Pulau Haji."

"Ya, aku sudah mendengar dari mulut seorang nelayan. Patroli di sekitar pulau itu tidak mengijinkan perahu nelayan mendekat."

"Mungkin pulau itu masih menjadi tempat kejadian perkara yang tidak boleh dikunjungi siapa pun."

"Omong kosong. Pemerintah tidak ingin siapa pun mengungkap apa yang terjadi di sana."

"Seandainya Koran Batavia tidak mengungkap terlebih dahulu, mungkin Pemerintah akan mengarang cerita," Panca mengira-ngira.

Tuan Frans mengangguk sambil terus memperhatikan orang-orang yang terus lalu-lalang di Pelabuhan. Seiring waktu berjalan, orang di kawasan itu bertambah banyak. Nelayan yang baru saja tiba melaut satu per satu menambatkan tali di tiang dermaga.

"Sialan, mereka bukan nelayan. Ayo pergi!"

"Orang yang mana, Tuan? Mereka terlihat sama."

"Kau hanya mengenali mereka dari caranya menatap kita."

Panca beranjak mengikuti Tuan Frans yang mulai berjalan menjauh dari tempat mereka semula. Langkah kaki laki-laki itu begitu cepat. Panca pun kesulitan mengikutinya.

Mereka berdua berjalan ke arah Pos Polisi yang didirikan untuk berteduh para petugas keamanan. Sayang, keresahan Tuan Frans dan Panca tidak terbaca oleh orang-orang berseragam biru dongker itu.

"Kita lari ke arah sana," Tuan Frans mengajak Panca untuk berlari ke arah sebuah kapal berukuran besar.

Panca pun mengikutinya. Kaki telanjang anak itu cekatan menyusuri papan yang berguna menjadi jembatan. Seorang kuli panggul yang baru saja turun dari kapal kaget ketika tiba-tiba saja di depannya ada orang yang melompat.

"Hei, jangan menggangguku bekerja! Kau bisa terjatuh ke laut!"

Si kuli panggul marah. Barang yang dipikul di pundaknya bisa saja terguling seandainya tidak ada tubuhnya yang kokoh menopang.

"Maaf, Paman!"

Panca menyusul Tuan Frans naik ke kapal. Dia tidak menyadari jika kelakuannya diperhatikan seseorang. Mereka sampai di geladak ketika  seorang mualim memperhatikan tingkah polah orang tak dikenal yang naik ke kapalnya.

"Hei, turun dari kapalku!"

Tentu saja Tuan Frans tidak menghiraukan seruan itu. Terlebih, sudah ada dua orang laki-laki yang mengikuti dari belakang. Jembatan papan kayu yang menjadi penghubung dengan kapal dijajaki seakan mereka tahu bagaimana bekerja di sana.

"Kalian, siapa lagi?"

Tentu saja si mualim itu heran dengan datangnya orang-orang tak dikenal naik ke kapal. Lebih heran lagi, orang-orang itu seakan hendak berkelahi.

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang