2

73 11 0
                                    

Tuan Win Feng berjalan cepat ke arah anak buahnya yang baru saja berteriak. Dia terlihat keheranan dengan apa yang tengah dilihat.

"Oh, ternyata ...," Tuan Win Feng bergumam.

"Apa itu, Tuan?"

"Ini ... catatan orang-orang yang akan berangkat ibadah haji."

"Tapi, ada bekas terbakar."

Perhatian anak buah kapal itu bukan pada lembaran kertas yang berserakan di lantai. Mereka lebih suka mengamati seseorang yang sedang duduk di belakang meja. Wajah orang itu mudah dikenali jika dia adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda. Memakai seragam putih-putih dengan topi yang tergeletak di meja.

Posisi duduk orang itu tegak. Bahkan lehernya pun begitu tegak seperti disangga oleh sebuah tiang. Padahal, dia sudah tidak bernyawa.

"Aneh, orang ini tampak kaku."

"Lentera, dekatkan ke wajahnya!" Tuan Win Feng memberi perintah.

"Orang Eropa, wajahnya mulus."

"Tidak ada bekas pukulan atau semacamnya."

Lentera memperjelas kulitnya yang masih segar. Berarti dia meninggal baru beberapa saat lalu. Kumis pirang yang dimiliki laki-laki itu menandakan kewibawaan.

"Mungkinkah, dia pimpinan di kantor ini?"

"Bisa jadi."

"Tuan, lihatlah. Tubuhnya disangga oleh sebatang kayu. Kemudian seseorang mengikatnya. Tapi, dari balik baju."

"Buka bajunya."

Ketika baju mayat itu dibuka, ternyata banyak sekali luka sayatan. Namun, darah yang keluar dari balik kulit tidak membasahi bajunya.

"Ini baju miliknya ...?"

"Dia dibunuh dalam keadaan telanjang. Setelah mati dan lukanya mengering, bajunya dikenakan kembali."

"Oleh siapa?"

"Entahlah. Mungkin oleh pembunuhnya."

"Tapi, untuk apa pembunuhnya melakukan itu?"

Semua orang saling tatap karena keheranan. Tidak ada yang sanggup menjawab pertanyaan demikian. Mereka hanya bisa menghela nafas.

"Kenapa? Kalian seperti ketakutan?" Tuan Win Feng bertanya karena menangkap wajah kecemasan pada anak buahnya.

"Tidak, Tuan. Hanya belum terbiasa ...."

"Sudahlah. Kita datang ke sini bukan untuk membahas orang mati. Ingat, kita datang ke sini untuk mencari sesuatu yang berharga."

Sang Kapten Kapal menyeringai sambil menatap kesembilan anak buahnya. Tentu saja orang-orang berpenampilan lusuh itu sama-sama menyeringai. Mereka paham apa yang dimaksud pimpinannya.

Tuan Win Feng meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju ruangan lainnya. Mereka menyebar untuk memeriksa setiap sudut bangunan berlantai dua itu sambil terus berharap mendapatkan sesuatu yang berharga. Malam yang gelap tidak menghalangi komplotan laki-laki dari latar belakang yang berbeda itu.

Tidak ada apa pun yang mereka temukan. Selain sekumpulan meja, kursi serta ranjang-ranjang berbahan kayu.

"Hei, kenapa kau memegang pundakmu? Kau takut?"

"Ah, bohong. Bilang saja kalau kau takut," Si Jangkung menyangkal prasangka temannya.

Semua orang memang merasakan ketidaknyamanan. Hanya saja, kegelapan malam menyembunyikan raut wajah mereka. Meskipun mereka sudah terbiasa terapung di lautan tanpa penerangan, kegelapan di daratan malah dirasakan berbeda.

"Tuan, jika di tempat terjadi peristiwa pembunuhan ... mungkinkah semua orang mati?"

"Atau, ada yang selamat."

"Melarikan diri?"

"Mungkin menggunakan kapal atau perahu yang singgah di sini."

Si Jangkung menganggukkan kepala. Seperti biasa, dia harus setuju dengan pendapat Sang Kapten Kapal. Pria berambut panjang itu tidak ingin jika pendapat anak buahnya menjadi sebuah rujukan untuk bertindak. Walau dalam pikirannya, pendapat orang sering menjadi pertimbangan.

"Jangkung, kumpulkan semuanya di sini!" Tuan Win Feng memberi perintah.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan sembilan orang anak buah kapal yang sedang berpencar. Orang-orang itu kembali berkumpul di tengah halaman luas. Mereka duduk bersila di bawah pohon bakau yang menjulang tinggi. Diterangi dua lentera, Tuan Win Feng memberi mereka arahan.

"Kita bermalam di sini. Siapkan makanan. Mungkin di tempat ini masih tersimpan bahan makanan."

Semuanya menganggukkan kepala.

"Dan, yang lainnya ... teruskan penyisiran. Siapa tahu kita menemukan apa yang kita butuhkan."

Tuan Win Feng duduk di atas bangku taman yang dibuat khusus untuk bersantai di bawah pohon. Rambutnya yang dikepang menjuntai dan sedikit bergoyang-goyang tertiup angin laut. Dia berpikir tentang kemungkinan seperti apa yang telah terjadi di tempat itu. Hal yang mengherankan jika tempat ini terjadi pembunuhan.

"Tuan, saya heran ... ternyata orang-orang terhormat juga bisa saling bunuh," Si Kurus menyalakan api di tengah pekarangan.

"Aku juga heran. Apakah mereka tidak tahu jika saling membunuh itu berdosa," Tuan Win Feng bicara dengan ketus.

Laki-laki Cina itu kembali memperhatikan sekelilingnya. Gelap, kecuali beberapa bagian dimana anak buahnya yang membawa lentera. Gedung ini seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi calon jamah haji. Dengan dinding tebal dan pilar-pilar besar sepertinya bangunan dibuat agar bertahan lama.

"Hei Kurus, kau berasal darimana?"

"Dari Banten, Tuan. Saya sudah mengatakan itu pada Tuan."

"Ah, apa salahnya aku bertanya lagi padamu."

"Tidak ada yang salah, Tuan."

"Hei, apakah di kampungmu ... adakah orang yang pernah berangkat naik haji?"

"Ada, Tuan."

"Apakah dia bercerita kalau pernah dikumpulkan di sini?"

"Setahu saya, dia pernah dikumpulkan di tempat ini."

Tuan Win Feng menganggukkan kepala. Sebuah kabar yang cukup menghibur di sela kebingungan dengan apa yang terjadi di hadapannya.

"Hei, kau membawa apa?"

"Ini beras dan kuali, Tuan. Ternyata di dapur banyak makanan."

"Kenapa kita tidak memasak di sana saja?"

"Ah, sebaiknya tidak, Tuan. Di dapur pun ada mayat. Ada dua perempuan tergeletak dengan leher ... hampir putus."

"Ah, sudah. Jangan diteruskan. Itu bisa merusak acara makan malam kita."

Ketika mereka sedang berbincang, tiba-tiba ada anak buah Tuan Win Feng yang berlari ke arahnya. Dia berlari dengan nafas tersengal.

"Tuan, di sana ...."

"Ada apa?"

"Ada yang masih hidup."

Panca dan Tragedi Pulau HajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang