"Asih, aku sudah curiga jika pencuri itu adalah kamu," Panca kesal.
"Ssttt, jangan keras-keras!"
"Ah, kelakuanmu sama seperti Tuan Win Feng."
"Kenapa dengan dia?"
"Dia juga pernah masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan jerami ketika dikejar oleh polisi."
"Tapi, aku bukan laki-laki sialan itu. Kau jangan menyamakan aku dengannya."
"Orang-orang yang mengejarmu itu menyebutkan ciri-ciri ... yang sama denganmu."
"Ciri-ciri? Bagaimana mereka tahu? Wajahku ditutup ...."
"Seorang gadis ..."
"Bagaimana mereka tahu aku seorang gadis?"
"Tubuhmu layaknya semua perempuan! Meskipun kau berusaha menyembunyikannya di balik pakaian seperti laki-laki. Kau tidak sadar?"
Asih memegang dadanya.
"Kau sudah besar, Asih. Tubuhmu bukan anak kecil lagi."
Sepertinya Asih belum menyadari hal itu.
"Lagipula, di Batavia ini ... seorang gadis yang berani mencuri di siang bolong. Siapa lagi?"
Panca kesal dan memasang wajah tidak ramah pada lawan bicaranya. Dia lebih suka menatap ke depan. Memperhatikan jalanan yang kembali ramai.
"Asih, aku sudah menduga jika kau masuk ke dalam pedati. Untung saja, aku tidak memeriksanya dan memberitahu mereka."
"Maaf, jika aku merepotkanmu. Kalau begitu aku lebih baik turun saja."
"Hei, kau mau ke mana? Seenaknya saja kau mau pergi."
"Lha, aku tidak punya urusan lagi denganmu, Panca. Aku mau pergi."
"Pergi ke mana? Mencuri lagi?"
"Hei, jaga mulutmu. Tadi aku tidak mencuri."
"Kalau tidak mencuri, kenapa orang-orang itu mengejarmu?"
"Ah, kau tidak perlu tahu. Bukan urusanmu."
"Enak saja. Sekarang jadi urusanku. Karena kau sudah melibatkanku dalam masalahmu."
"Ah, sudahlah. Pekerjaanku belum selesai dan aku mau pergi."
"Kau yakin?"
"Tentu saja."
Panca menghentikan pedatinya. Anak remaja itu menoleh ke belakang. Kemudian menatap Asih.
"Hei, jika orang-orang melihatku ... menyelematkan seorang pencuri ...."
"Aku bukan pencuri."
"Terserah. Hal terpenting, aku tidak mau dilibatkan dalam urusanmu. Kemudian polisi menanyaiku. Apa yang harus aku jawab?"
"Jawab saja kau tidak tahu."
"Oh, segampang itu."
Asih terdiam. Kepalanya masih penuh dengan jerami karena sebelumnya dia bersembunyi tepat di tumpukan jerami. Sebenarnya, tumpukan jerami itu dimaksudkan untuk menahan gerabah dari goncangan. Tapi, kali ini berguna untuk membenamkan tubuh seorang gadis.
"Panca ...."
"Hanya kau yang berani memanggilku demikian."
"Ya, Raden ... Panca. Kenapa sikapmu kasar padaku? Padahal kau bersikap ramah pada gadis pelayan itu?"
"Tentu saja berbeda."
"Ya, kenapa?"
"Hei, apakah kau sadar jika seluruh Batavia sudah mengenalmu sebagai ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Tragedi Pulau Haji
Gizem / GerilimSemua mata tertuju pada suasana pulau yang berbeda sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi keramaian. Tidak ada kapal bahkan sebuah sampan pun tidak ada yang bersandar di dermaga. Malam sudah menjelang, tetapi tidak ada satu pun lampu menya...